APAKAH DENGAN MENGATAKAN KEBENARAN KEPADAMU, AKU TELAH MENJADI MUSUHMU? (Menanggapi tulisan Pdt. Norman M. Nenohai)



Membaca sebuah tulisan di surat kabar harian Timor Express (Timex) tanggal 19 November 2013 dengan judul :“Kesetaraan sebagai Nilai Dasar Ke-Indonesiaan”  oleh Pdt. Norman M. Nenohai. Setelah selesai membaca tulisan beliau, saya dapati  hal – hal  yang menurut saya berbeda/bertentangan dengan apa yang saya pahami. Untuk itu, tanpa mengurangi rasa hormat dan tentu saja dengan semangat “perbedaan” seperti yang di dengungkan oleh Pdt.  Norman M. Nenohai yang selanjutnya saya sapa Pak Norman, maka saya pun tergerak untuk mengemukakan pandangan saya sebagai tanggapan terhadap tulisan Pak Norman. Dari keseluruhan tulisan pak Norman, ada beberapa haldari tulisan Pak Norman yang ingin saya bahas dalam tanggapan ini. Untuk itu saya akan membaginya empat bagian. Berikut uraiannya;

MENILAI DAN MENGIDENTIFIKASI “PERBEDAAN”
Pak Norman berpandangan bahwa “Dalam kitab suci dikatakan bahwa Allah menciptakan kepelbagaian dengan tujuan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Karena itu perbedaan haruslah dipahami sebagai anugerah dari yang ilahi bagi seluruh umat manusia”.Bicara tentang “perbedaan”, benar bahwa perbedaan adalah suatu hal yang tidak mungkin bisa dihindari dan wajar terjadi. Setiap individu satu dengan yang lainnya tidak selalu memiliki pandangan yang selalu sama. Bahkan perbedaan pandangan dari dua individu (manusia) yang paling akrab/karib sekalipun bisa saja terjadi, dan tanggapan saya ini pun ungkapan ekspresi dari perbedaan pandangan saya terhadap pandangan Pak Norman.Yang harus di cermati adalah; bagaimana kita dapat menyikapinya dengan cerdas.
Menarik ketika Pak Norman menyampaikan bahwa perbedaan adalah anugerah Tuhan dengan tujuan untuk saling melengkapi. Ada “perbedaan” yang tidak bertentangan, misalnya pada analogi “gajah”; si A mengidentifikasikan seekor gajah dengan memegang punggungnya dan si B mengidentifikasikan seekor gajah dengan memegang belalainya. Artinya keduanya (A dan B) semakna/sedefinisi/seesensi/tidak bertentangan/sama benarnya. Namun ada juga “perbedaan” yang bertentangan, misalnya; “Tuhan ada” VS “Tuhan tidak ada” (dalam relasi dan makna yang sama). Kedua proposisi tersebut jelas bertentangan dan tidak mungkin kedua proposisi ini sama benarnya, jika proposisi “Tuhan ada” adalah benar, maka proposisi “Tuhan tidak ada” adalah salah, sebaliknya jika proposisi “Tuhan tidak ada” adalah benar, maka proposisi “Tuhan ada” adalah salah. Hal ini senada ketika kita berbicara juga tentang keimanan dalam agama – agama atau kepercayaan – kepercayaan yang ada di indonesia. Proposisi – proposisi yang ada saling bertentangan satu sama lain. Usaha untuk menyamakan semuanya atau membenarkan semuanya pasti jatuh dalam jurang ketidak-logisan.“Benar” tidak mungkin semakna dengan “salah (tidak benar)”, hukum kontradiksi tidak memungkinkan hal tersebut, kecuali kita memilih untuk menjadi tidak logis. Sangat penting untuk belajar memperhatikan dengan cermat agar kita dapat menilai mana “perbedaan” yang tidak bertentangan dan mana “perbedaan” yang bertentangan. Anda perlu melakukan analisis – analisis pada proposisi-proposisi dalam pandangan-pandangan tertentu dengan menggunakan kaidah – kaidah logika (Law Of Thought) sebagai pisau bedah yang ampuh.
Terkait berbagai perbedaan untuk saling melengkapi, Alkitab menggambarkannya seperti banyak anggota tapi satu tubuh. Artinya, Alkitab berbicara tentang “perbedaan” yang tidak saling bertentangan (seperti analogi “gajah” diatas) bukan membenarkan perbedaan dari dua proposisi yang secara esensial saling bertentangan.Sebagian dari kita sering-kali gagal memahami hal ini sehingga tidak jarang jatuh dalam lumpur ketidak-logisan. Anda perlu mengenali apa pandangan anda atau filsafat apa yang mendasari pandangan anda tersebut, kemudian melakukan self-correction dengan cermat terhadap pandangan anda. Apakah anda mempunyai pandangan yang konsisten secara logis atau tidak.
Mari kita periksa lebih jauh kelemahan pandangan pak Norman terkait “perbedaan”. Karena pak Norman berbicara tentang pluralisme agama, tampaknya pak Norman berbicara tentang perbedaan – perbedaan dalam agama – agama atau kepercayaan – kepercayaan yang ada di Indonesia. Kemudian pak Norman mendasari pendapatnya tersebut memakai kitab suci  untuk menggambarkan bagaimana perbedaan itu. Saya tidak tau kitab suci apa yang di pakai pak Norman, tapi yang jelas Alkitab tidak pernah berkesimpulan seperti itu. Jika pak Norman tidak setuju atau menganggap bahwa saya salah, saya kira pak Norman tidak bisa melakukan itu, karena jika pak Norman menilai saya salah, maka implikasinya adalah pak Norman yang BENAR, tapi pak Norman sendiri mengatakan bahwa manusia pasti terbatas dalam memahami komunikasi dari “Yang Mutlak”, dengan sendirinya pandangan pak Norman tidak bisa dikatakan BENAR, karena tentu saja interpretasi pak Norman pun tidak sempurna. Ini salah satu kelemahan pandangan pak Norman dalam idenya tentang “perbedaan” yang sangat absurd. Ketimpangan filsafat yang tidak bisa ditolerir ini di akibatkan karena pak Norman gagal membedakan atau mengidentifikasi perbedaan yang tidak bertentangan dengan perbedaan yang bertentangan.

WAHYU YANG TAK DAPAT DIPAHAMI MANUSIA ADALAH WAHYU YANG MUBAZIR
Pak Norman menyampaikan bahwa agama tidak hanya berhubungan dengan “Yang Mutlak” saja, tapi juga adalah lembaga sosial yang kehadirannya dipengaruhi oleh budaya setempat.Komunikasi antara “Yang Mutlak” dan manusia terjadi melalui simbol dalam budaya manusia Karena itu pasti terjadi pengurangan – pengurangan dalam interpretasi yang dilakukan manusia untuk memahami “Yang Mutlak”.Berdasarkan hal ini, Pak Norman berkesimpulan bahwa “tidak ada satu pun manusia atau agama tertentu yang dapat memahami kehendak Yang Mutlak dengan sempurna. Atau dengan kalimat yang lain, bisakah satu agama menyatakan dirinya sebagai satu- satunya agama yang paling benar? Kalau pemahaman ini ada maka pastilah ini pandangan manusia bukan pandangan Yang Mutlak”.Selanjutnya pak Norman juga berkomentar demikian;  “Bila kita coba memahami secara baik tentang Yang Mutlak, maka sudah tentu kita tidak akan pernah dapat merumuskan secara sempurna. Sebab apapun yang kita pahami mengenai Yang Mutlak, tentu sangat subjektif.Namun demikian, pemahaman tersebut sah – sah saja, bagi manusia itu sendiri dan komunitasnya.Itulah sebabnya, pemahaman itu selalu manusiawi sekaligus budayawi.”
Kedengarannya cukup rohani, tapi ketika kita selidiki dengan cermat maka akan kita temui kejanggalan dalam argumen pak Norman. Kejanggalan ini akan terlihat ketika kita bertanya; apakah “Yang Mutlak” tidak mampu memberi pengertian/pemahaman pada manusia sehingga manusia pasti tidak sepenuhnya dapat memahami wahyu dari “Yang Mutlak”? Apa gunanya suatu wahyu kalau manusia tidak dapat menginterpretasinya dengan benar, sempurna atau objektif? Atau apa gunanya “Yang Mutlak” mengkomunikasikan sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh manusia dengan objektif? Dalam kekristenan misalnya; Apakah wahyu dari Allah yang diberikan kepada manusia tidak dapat dipahami manusia dengan objektif? Saya tidak tau dalam agama yang lain, tapi dalam kekristenan wahyu yang di berikan dalam bentuk Firman kepada manusia adalah bertujuan untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran,  jika manusia tidak dapat sepenuhnya memahami kebenaran atau wahyu yang di berikan maka wahyu tersebut hanya sia – sia saja. Benar bahwa manusia secara independen tidak mampu memahami wahyu (Firman) Allah, tapi Allah yang memampukan manusia untuk bisa memahami maksud-Nya, untuk itu tidak benar kalau manusia pasti tidak dapat sepenuhnya memahami apa yang Allah komunikasikan kepada manusia. Hal lainnya, dalam kekristenan dikatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan dan hidup, apakah ini pemahaman yang tidak/belum objektif menurut Pak Norman ? Trinitas diyakini merupakan deduksi valid dari apa yang dikatakan Alkitab, apakah ini juga subjektif? Saya tidak tau teologi Pak Norman seperti apa, tapi tidak ada satupun proposisi dalam kitab suci agama Kristen yang mendukung pandangan Pak Norman.
Saya curiga bahwa Pak Norman sulit memahami apa yang manusia bisa pahami dari “Yang Mutlak” dan apa yang tidak bisa manusia pahami dari “Yang Mutlak. Manusia dapat memahami maksud “Yang Mutlak” sepanjang “Yang Mutlak” menyampaikannya (mewahyukan) kepada manusia sehingga manusia dapat memahaminya dengan melakukan deduksi – deduksi yang tepat, tapi manusia tidak dapat memahami hal – hal yang tidak di wahyukan “Yang Mutlak” karena memang “Yang Mutlak” tidak mewahyukannya, misalnya; seperti apa rupa “Yang Mutlak”, bagaimana “Yang Mutlak” menciptakan dunia dan segala isinya secaa empiris, dan lain sebaginya yang tidak di wahyukan “Yang Mutlak” kepada manusia memang tidak bisa manusia ketahui.  Jadi, pandangan Pak Norman ini lebih tepat untuk hal – hal yang tidak di wahyukan atau tidak dikomunikasikan pada manusia, tapi ketika “Yang Mutlak” memutuskan untuk mengkomunikasikannya  pasti/haruslah manusia bisa memahaminya. Jadi, keliru kalau Pak Norman mengatakan bahwa apa yang dikomunikasikan oleh “Yang Mutlak” kepada manusia tidak dapat sepenuhnya di pahami manusia.
Berikutnya ketika Pak Norman menyampaikan bahwa“Yang Mutlak” mengkomunikasikan (wahyu-Nya) kepada manusia pasti manusia tidak dapat memahaminya dengan sempurna, apakah kesimpulan Pak Norman ini adalah suatu kebenaran yang sempurna atau pandangan pak Norman ini objektif? Bukankah pandangan pak Norman ini juga merupakan Interpretasi manusia yang menurut Pak Norman pasti tidak sempurna atau subjektif  juga kan? Jadi, kesimpulannya pandangan Pak Norman ini pun tidak sempurna atau subjektif, sehingga tidak dapat dikatakan sebuah kebenaran atau pak Norman tidak berhak atau tidak boleh mengatakan pandangannya adalah benar. Maka, kalau benar semua interpretasi manusia tentang “Yang Mutlak” adalah bersifat subjektif, maka tidak ada gunanya orang berjuang demi kebenaran, karena manusia tidak paham sepenuhnya apa itu kebenaran dan tulisan pak Norman pun dengan sendirinya tidak ada gunanya karena juga bukan suatu kebenaran atau hanya pandangan yang subjektif saja.   Kalau pun menurut pak Norman pandangannya benar, maka pak Norman telah melakukan inkonsistensi, dimana satu sisi mengatakan interpretasi manusia pasti tidak sempurna (subjektif), tapi disisi lain membenarkan interpretasi atau pandangan pak Norman sendiri. Atau dengan kata lain pak Norman telah melakukan standar ganda. 

ALKITAB ADALAH FIRMAN ALLAH
Pada bagian ini saya tertarik dengan pernyataan pak Norman bahwa; “ketika dimensi sejarah dalam Kitab Suci telah dilupakan atau diabaikan dan Kitab Suci terlanjur dianggap betul – betul sebagai rekaman sabda Yang Mutlak, dan menjadi Firman Tuhan, dan tidak lagi dilihat sebagai interpretasi budayawi manusia seperti digambarkan tadi, maka Kitab Suci telah menjadi Tuhan sendiri, akibat apa saja yang di tulis di dalamnya dianggap betul – betul adalah sabda Yang Mutlak dan tidak bisa salah. Ketika pemahaman Kitab Suci sudah sedemikian, maka Kitab Suci telah menjadi berhala, karena dimensi kebudayaannya telah diabaikan, yaitu fakta bahwa dalam bentuk tertulis, Kitab Suci itu adalah hasil karya manusia, bukanlah sesuatu yang ditulis oleh Yang Mutlak dan dikirimkan kepada manusia sebagai faksmili dari “surga” dalam pemahaman yang demikian saya berkesimpulan bahwa Yang Mutlak dapat dipahami secara beragam, tergantung konteks budaya dan dari sudut pandang mana kita melihat dan mengungkapkan pengalaman perjumpaan kita dengann-Nya. Akan tetapi sesungguhnya yang beragam itu hanyalah cara pandang kita namun Yang Mutlak adalah Allah yang esa/satu yang dalam konteks Indonesia menurut konstitusi dipahami sebagai “Tuhan” yang berkarya lewat para pendiri Negara Indonesia yang kemudian dipahami sebagai Tuhan nya bangsa Indonesia”. 
Baik mari kita periksa proposisi – proposisi pak Norman ini. Saya tidak tau dari mana datangnya kesimpulan pak Norman sehingga kitab suci menjadi berhala.Alkitab khususnya memang tidak lepas dari budaya dan bahkan para penulisnya menuliskan berdasarkan budaya waktu itu dan pada jaman itu, tapi tidak berimplikasi bahwa karena ada pengaruh budaya maka ada kesalahan disana. Alkitab memang  bukanlah didikte oleh Tuhan secara harafiah, namun Diilhamkan Allah atau segala tulisan tersebut di inspirasi oleh Roh Kudus, jika saja segala tulisan tersebut ada sedikit saja mengandung kesalahan, maka kita boleh membuangnya ke tong sampah. Biasanya argumen – argumen seperti ini keluar dari orang – orang Kristen yang saya sebut saja liberal, namun lucunya adalah apakah ketika Allah mewahyukan Firman-Nya, Allah kalah dengan keterbatasan penulis dan budaya sehingga memungkinkan ada kesalahan disana? Ataukah apakah ada bagian di Alkitab yang berisikan Firman Allah, tapi juga ada bagian yang bukan Firman Allah? Ataukah semuanya bukan Firman Allah?Atau bagaimana?Kalau seandainya sebagiannya Firman Allah dan sebagian bukan, maka bagian – bagian mana sajakah itu? Ukuran apa yang digunakan untuk menentukannya? Seberapa valid ukuran tersebut? Siapa yang menentukan ukurannya? manusia kah? Tentu orang Kristen yang berpegang pada pandangan ini (liberal) akan kesulitan menjawab pertanyaan – pertanyaan ini. Menurut pak Norman jika Alkitab adalah Firman Allah tanpa mengandung kesalahan maka sama dengan kita memberhalakan kitab suci. Jika Pak Norman berasumsi bahwa isi Alkitab bisa saja salah, maka kembali lagi perlu kita tanyakan; tau dari mana? Bukankah menurut pak Norman penilaian manusia pasti subjektif? maka dengan sendirinya kalaupun misalnya pak Norman mengemukakan kesalahan isi Alkitab tertentu, tetap saja penilaian pak Norman tersebut pun juga subjektif. Dan  Rupanya juga pak Norman terjerat “ekuivokasi”, yaitu terperangkap dalam distorsi definisi yang absurd. Firman Allah dalam pandangan Kristen bisa diartikan Firman yang hidup, jika di katakan Alkitab adalah Firman Allah, maka ini bisa juga merujuk pada Sang Firman itu sendiri, bukan sebuah “buku”. Tidak ada yang salah dengan menyembah Firman karena esensinya sama dengan menyembah Allah itu sendiri. Alkitab diilhami oleh Allah sendiri, jika mengandung kesalahan, maka implikasinya Allah telah melakukan kesalahan, dan juga kesimpulan Alkitab tidak mengandung kesalahan tidak berimplikasi bahwa Alkitab (buku) tersebut di jadikan berhala. Jadi tuduhan pak Norman tersebut sama sekali tidak relevan atau secara logis tidak ada keharusan dari premis – premis yang di kemukakan pak Norman mendukung kesimpulannya. 

APAKAH SEMUA AGAMA DI INDONESIA MERUJUK PADA TUHAN YANG SAMA?
Pada bagian yang satu pak Norman berpendapat bahwa agama tertentu tidak bisa mengklaim agamanya paling benar karena interpretasi manusia pasti terbatas dalam memahami “Yang Mutlak”. Dan pada bagian yang lain pak Norman berkesimpulanbahwa Yang Mutlak dapat dipahami secara beragam, tergantung konteks budaya dan dari sudut pandang mana kita melihat dan mengungkapkan pengalaman perjumpaan kita dengan-Nya. Akan tetapi sesungguhnya yang beragam itu hanyalah cara pandang kita namun Yang Mutlak adalah Allah yang esa/satu yang dalam konteks Indonesia menurut konstitusi dipahami sebagai “Tuhan” yang berkarya lewat para pendiri Negara Indonesia yang kemudian dipahami sebagai Tuhan nya bangsa Indonesia”. Tidak terlalu jelas maksud pak Norman ini seperti apa, namun saya teringat pepatah lama mengatakan: “Banyak jalan menuju ke Roma”, jika maksud pak Norman terkait keberagaman atau cara pandang yang berbeda ini adalah semua agama atau kepercayaan berbeda tapi mengerucut pada “Tuhan” yang sama, timbul pertanyaan dalam benak saya; Jika benar manusia pasti terbatas dalam memahami “Yang Mutlak”, maka tau dari mana semua agama mengerucut pada Tuhan yang sama? Kesimpulan dari mana ini? Kitab suci? Bukankah tidak satupun dari kita (baca : manusia) yang bisa menginterpretasinya dengan sempurna menurut pak Norman? 
Saya tidak sependapat dengan pak Norman bahwa “yang Mutlak” dapat dipahami secara beragam. Pak Norman berpendapat “Yang Mutlak” dipahami secara beragam hanya cara pandang saja, tapi sesungguhnya “Yang Mutlak” adalah Allah yang esa. Seperti yang saya sampaikan pada bagian pertama, kita perlu menentukan apakah perbedaan dari agama – agama maupun kepercayaan – kepercayaan yang ada hanya sekedar cara pandang saja tapi tidak bertentangan ataukah benar – benar bertentangan satu sama lainnya. Nampaknya usaha menyamakannya adalah bentuk manifestasi dari “kesetaraan” yang disampaikan oleh Pak Norman.Sudah saya sampaikan sebelumnya bahwa usaha untuk menyamakan hal – hal yang bertentangan secara logis adalah kesalahan yang fatal. Kesetaraan bukan berarti menggeneralisir semuanya menjadi bisa sama benar atau kesemuanya mengerucut pada makna kebenaran yang sama. Kesetaraan terkait dengan keadilan dan keadilan mengandung objektifitas, tanpa objektifitas tidak ada keadilan dan tanpa keadilan tidak ada yang namanya kesetaraan, maka tanpa objektifitas frasa “kesetaraan” hanya terdengar omong kosong atau tidak punya makna apa – apa. Ketika objektifitas di utamakan ini tidak berimplikasi bahwa terjadi pemaksaan kehendak kepada pihak lainnya atau berimbas pada terjadinya kekerasan, diskriminasi, dan lain - lain. Setiap insan bebas memeluk agama atau kepercayaan apapun tanpa ada yang bisa melarangnya, tapi kebebasan ini bukan berarti semuanya benar adanya atau merujuk pada esensi yang sama. Pertentangan yang ada harus diterima dengan cerdas dengan mengedepankan intelektualitas. Usaha menyamakan semuanya adalah kemunafikan intelektualitas. Saya misalkan saja dalam kekristenan; di banding agama – agama yang lainnya hal yang sama adalah semuanya (termasuk Kristen) mengajarkan “perbuatan baik”, namun secara fundamental doktrin dalam kekristenan tidak mengutamakan “perbuatan baik”, tapi iman kepada Yesus Kristus lah yang paling utama. Beberapa pihak memberi jalan bahwa semua agama percaya pada Kristus juga yaitu meneladani perbuatan-Nya. Benar – benar telah salah kaprah. Walau perbuatan adalah buah – buah dari iman, tapi tidak ada tempat sedikitpun Kristen mengisyaratkan keselamatan melaui perbuatan baik. Yesus adalah jalan keselamatan adalah proposisi yang eksklusif (mengikat). Kehadiran Yesus sebagai Juruselamat ini karena tidak ada kemungkinan jalan keselamatan lainnya atau karena "perbuatan baik" pun bukan jaminan. Jika saja kita membuka ruang untuk jalan keselamatan yang lain, maka implikasinya; Yesus adalah jalan keselamatan menjadi mubazir alias tidak gunanya. Perhatikan bahwa berbuat baik ditekankan oleh iman di luar kristen sebagai jalan keselamatan dan dalam kekristenan tidak memberi tempat bagi "perbuatan baik" sebagai jaminan keselamatan. Ini proposisi yang bertentangan dengan apa yang diyakini oleh agama – agama lain selain Kristen. Jika kita menggeneralisir semuanya sama saja, maka implikasinya Allah menjadi tidak konsisten lagi. Disatu sisi berbicara A dan sisi lain berbicara Non-A, dimana pada agama yang satu Allah memakai skenario mengirim Juruselamat dan menekankan tidak bisa selamat karena perbuatan baik, kemudian agama yang lain Allah menggunakan skenario lain dengan menekankan pada perbuatan baik, dan lain sebagainya. Allah tidak mungkin berbuat hal yang bertentangan dengan dirinya sendiri karena natur Allah adalah konsisten.
Berikutnya, dalam pandangan saya, Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 tidak mengisyaratkan semua agama sama adanya, walau mengakui bahwa “Yang Mutlak” itu ada. Atau semua agama mengakui Tuhan itu ada tidak berimplikasi bahwa semua agama atau kepercayaan merujuk pada Tuhan yang sama. Setiap warga Negara bebas memeluk kepercayaannya masing – masing tanpa ada pemaksaan dan intimidasi dari pihak mana pun dan setiap warga negara berhak mengklaim kebenaran agamanya, karena menyatakan kebenaran bukan suatu yang salah atau di larang. Kecuali cara penyampaiannya dengan memaksaan kehendak misalnya, itu baru salah. Usaha untuk melarang atau menyalahkan orang membenarkan agamanya adalah bentuk pemangkasan hak asasi yang harusnya di hormati pihak manapun. Saya pribadi berhak mengatakan Kristen adalah benar dan agama lainnya pun silahkan saja mengklaim hal yang sama, tapi tentunya perlu di backup dengan justifikasi yang logis dan ini tidak berimplikasi bahwa saya memaksakan kehendak pada pihak lainnya atau tidak menghargai agama yang lainnya apa lagi sampai memusuhi agama lainnya. Ini sama sekali tidak merampas hak hidup pihak mana pun. Hal terkait perilaku kekerasan atas nama agama terjadi karena ketidak-mampuan berperilaku dengan cerdas oleh sebagian orang atau kelompok tertentu tapi bukan berarti ini menjadi alasan bahwa manusia tidak boleh mengklaim kebenaran tertentu, karena letak kesalahan ada pada ketidak-mampuan intelektualitas oknum atau pihak tertentu sehingga melakukan kekerasan, bukan karena seseorang menyatakan kebenaran. Contoh konkrit menyikapi dengan benar pertentangan adalah melalui tanggapan saya terhadap pak Norman ini. Saya dan pak Norman mempunyai pandangan yang bertentangan dan saya memilih untuk menyikapinya dengan cerdas tanpa perlu memaksakan kehendak atau memusuhi pak Normanapa lagi melakukan tindakan kekerasan.
Seperti yang pak Norman katakan bahwa perbedaan adalah hal yang wajar, dengan demikian jangan alergi terhadap pertentangan. Kita harus sadar sesadar-sadarnya bahwa agama – agama yang ada ajarannya bertentangan satu sama lainnya. Ini tidak berarti satu sama lain menjadi bermusuhan. Justru usaha menyembunyikan pertentangan ini hanya memupuk kemunafikan yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menghidangkan kue pluralisme adalah kesalahan yang sangat fatal untuk mengatasi kemajemukan yang ada.Pluralisme seolah membebaskan setiap warga Negara untuk berpendapat, tapi justru pluralisme mengekang hak setiap orang untuk menyatakan pendapat. Tidak memperbolehkan seseorang atau kelompok tertentu untuk menyatakan kebenaran tertentu adalah pemangkasan hak individu yang harusnya di junjung tinggi. Mengatakan apa yang menurut mereka benar disertai justifikasi yang logis adalah bukan tindakan yang tidak etis atau menjadi tidak menghormati orang lain. Kecuali menghina atau melakukan tindakan kekerasan, maka itu jelas salah. Setiap pendapat pasti diyakini adalah benar (bahkan terlepas dari absurdnya pandangan pak Norman, pendapat/pandangan Pak Norman pun harusnya pak Norman yakini benar). Menyalahkan orang atau kelompok tertentu untuk menyatakan kebenaran adalah bukan tindakan yang cerdas, dan bahkan bertentangan dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 yang sangat menghargai kebebasan berpendapat. Harus diingat bahwa mengekang kebebasan berpendapat justru dapat berimplikasi terjadinya tindakan – tindakan kekerasan, saling hujat, dll. Masyarakat harus di bawa pada level berpikir yang lebih baik. Kita (baca : masyarakat) harus di didik untuk berpikir cerdas, kritis dan bertanggung-jawab, bukan sebaliknya. Dan apakah tulisan ini bersifat “provokatif”? Ya, memprovokasi pembaca untuk berpikir dengan benar. Salam damai.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ORANG - ORANG POTENSIAL DALAM GEREJA HARUS 'DIMAKSIMALKAN' BUKAN 'DIMANFAATKAN'

Teologi Kidung Jemaat