AHOK TIDAK ETIS? (Revisi)



Ini menarik! Beta dapat info dari teman kalau Prof. Kebamoto Tanabi secara sengaja buat eksperimen di status facebook-nya (Isi status demikian: "DASAR BAJINGAN.... BRENGSEK KALIAN SEMUA..."). Maksud Prof. Kebamoto adalah untuk melihat sejauh mana respon orang terhadap status yang demikian. Status tersebut untuk mengkritisi Ahok terkait bahasa-bahasa "kasar" Ahok. Dari hasil eksperimennya tersebut ternyata banyak yang meresponnya dengan negatif, maka dari hal tersebut beliau berkesimpulan bahwa bahasa-bahasa Ahok tersebut tidak pantas pantas/tidak etis, singkatnya demikian. Dan sebenarnya ini juga menjadi anggapan sebagian orang bahwa Ahok suka berbahasa “kasar” bahkan oleh pendukung Ahok sendiri. Mari kita lihat apakah benar demikian.


Pertama, Kasus ini terkait dengan etika, maka kita harus menentukan dahulu etika seperti apa yg di pakai Prof Kebamoto untuk mengukurnya? etika menurut agama kah? etika jawa kah? adat ketimuran kah? atau apa? tidak jelas beliau mengukurnya pakai apa. Yang pastinya, eksperimen Prof. Kebamoto tersebut untuk mendapat respon dari orang -orang (atau minimal Friendlist di akun facebokk nya). Maka jelas beliau ingin mengukur hal ini melalui respon orang - orang. Sederhananya, jika banyak orang tidak suka, maka kalimat tersebut adalah disebut "kasar" atau tidak etis. Menarik! Pertanyaannya; Apakah "suara terbanyak"adalah valid untuk menetukan sesuatu itu etis atau tidak? Misalnya; Dahulu waktu Yesus disalib, banyak yang setuju dan mau Yesus disaliban apakah ini berarti Yesus bersalah? Apakah sesuatu disebut benar atau disebut etis berdasarkan suara terbanyak? Tentu tidak! Dalam logika, ada kesalahan logika informal yang disebut dengan "Argumentum ad populum"  yaitu; membenarkan kesimpulan "A" karena kebanyakan orang memilih "A". Dalam kasus Prof. Kebamoto ini beliau menyimpulkan Ahok tidak etis hanya karena banyak yang tidak suka dengan status eksperimennya. Jelas ini suatu yang tidak relevan karena menyandarkan ukuran etika pada persetujuan banyak orang, atau persetujuan banyak orang bukan otoritas yang valid untuk menentukan sesuatu disebut benar atau tidak benar atau etis atau tidak etis.

Kedua, Sekarang mari kita lihat kalimat status eksperimen Prof. Kebamoto. Prof. Kebamoto menulis: "DASAR BAJINGAN.... BRENGSEK KALIAN SEMUA...". Tidak jelas pernyataan ini mengarah pada apa, siapa dan kenapa?! Namun demikian menurut Prof Kebamoto (pokoknya) bahasa – bahasa demikian tidak etis. Kalau misalnya kita bandingkan dengan kisah – kisah dalam Alkitab dan kita pakai kesimpulan Prof Kebamoto, maka bisa jadi Paulus dan bahkan Yesus pun kena cap tidak etis oleh Prof Kebamoto. Di bandingkan dengan Paulus maupun Yesus, bahasa- bahasa Ahok ini tidak ada apa-apanya, yang bahkan ada juga penggunaan nama “binatang” kepada manusia bukan sekedar bajingan atau brengsek saja. Dalam Alquran juga demikian. Ada penggunaan kata “Kafir”, dll oleh Muhammad, maka kalau ikuti maunya Prof. Kebamoto bisa jadi nabi Muhammad pun kena cap tidak etis juga oleh Prof Kebamoto. Kita memang tidak bicara etika Kristen atau etika dalam islam, tapi ini bisa menjadi perbandingan yang baik untuk melihat sejauh mana konsistensi argumen Prof Kebamoto. Implikasinya adalah kalau Prof Kebamoto setuju dengan perkataan Yesus, Paulus atau Nabi Muhammad, maka beliau telah melakukan sesat pikir “Standar Ganda”, dimana tidak menyetujui pihak yang satu dan menyetujui pihak yang lain padahal dalam makna yang sama. Sebaliknya kalau beliau tetap konsisten dengan argumennya, implikasinya Yesus, Paulus dan Muhammad juga tdk etis.

Ketiga, sekarng kita lihat apakah pernyataan eksperimen Prof Kebamoto tersebut suatu yang analog dengan bahasa-bahas (“kasar”) Ahok atau tidak. Satu hal yang perlu kita pahami adalah “bukan masalah menggunakan bahasa apa atau seperti apa, tapi apa makna dibalik bahasa digunakan oleh seseorang”.
Saya buat contoh pernyataan begini:
1.      Kalian memang "bangsat dan brengsek" karena telah mencuri uang rakyat! (diasumsikan benar telah mencuri)
2.      Orang yang berdoa di TOA masjid itu memang "bangsat dan brengsek", karena sudah mengganggu tidur siang saya.
3.      Dasar Bajingan! Brensek kalian semua!

Dari contoh pernyataan diatas, apa yang bisa kita simpulkan? Atau apa poinnya? Orang harus pahami bahwa penggunaan kata2 seperti ; "bangsat, brengsek, bodoh, dll" adalah belum tentu suatu yang tidak etis dalam penggunaannya. Masalahnya sebagian orang sudah terlanjur menganggap bahwa bahasa-bahasa tersebut tidak etis untuk kondisi apapun, tapi coba dilihat lebih jauh mereka akan sulit member justifikasi bilamana ini disebut tidak etis. Dari contoh nomer satu (1) dan nomer dua (2) diatas apa yang berbeda kalau kita cermati dengan seksama? Perbedaannya ada pada penyematan makna yang ingin di sampaikan. Maksudnya kita tidak boleh terjebak/hanya fokus pada kalimat/bahasa “kasarnya”, tapi harus dilihat sejauh mana justifikasinya. Kita boleh saja mengatakan “Bodoh” pada seseorang yang memang bebal sepanjang kita sertakan kenapa demikian atau penyematan bodoh itu punya justifikasi. Seperti misalnya perilaku korupsi dikatakan sebagai perolaku yang brengsek, itu tidak salah. Nah, ini artinya tidak ada yang salah dengan menggunakan kata-kata “brengsek, bodoh, bangsat, dll” sepanjang bisa kita pertanggung-jawabkan (tidak asal omong saja). Lalu bagaimana dengan contoh ketiga (3)? Contoh ini sama dengan eksperimen Prof Kebamoto. Tidak jelas merujuk pada apa atau apa justifikasinya? Jika orang tiba-tiba mengatakan demikian dengan tidak jelas seperti itu, bisa jadi orang tersebut diangap kurang waras. Berbeda dengan Ahok. Memang Ahok memakai bahasa-bahasa tesebut, tapi dia punya justifikasi yang jelas kenapa dia menggunakannya atau mengatakan dengan bahasa yang demikian.  Jelas Eksperimen Prof. Kebamoto tidak analog dengan kasus Ahok. (Artikel terkait penggunaan kata- kata 'kasar' bisa dibaca disini). 

Hal lainnya; menarik bahwa Prof Kebamoto rupanya menganggap bahwa Ahok mengajarkan hal yang tidak baik bagi generasi muda. Sebagai bagian dari generasi muda beta mengapresiasi kegalauan beliau. Hanya saja sebagai orang muda, beta juga harus kritis dengan berbagai informasi yang ada, termasuk dengan apa yang Prof. Kebamot sampaikan. Bagi beta apa yang Ahok lakukan justru contoh dan teladan seorang pemimpin yang baik bukan saja pada generasi muda tapi bagi seluruh masyarakat. Ahok adalah pribadi yang konsisten. Dia tidak berkompromi dengan kesalahan dan benar-benar MENGUTUK keras perbuatan – perbuatan  BIADAB para koruptor dan perusak bangsa ini. Ini memang harus di lakukan dengan kejujuran! Akan sangat lucu kalau kita meyalahkan Ahok yang mengatakan BRENGSEK pada orang – orang  yang memang punya perilaku brengsek, pada hal letak kesalahan ada pada orang – orang  brengsek bin bebal itu. Beta ingat, pada akhir tahun yang lalu sempat membuat status :” kalau kita mau liat sosok Rasul Paulus jaman sekarang bolehlah dikatakan Ahok adalah cerminannya”. Setidaknya dari gaya bicara yang ceplas ceplos dan tegas terhadap siapa saja yang salah, tanpa memandang siapa orang itu. “Salah ya salah dan benar ya benar”. Ahok mendidik kita agar jangan menjadi orang yang munafik terhadap kesalahan dan tidak kompromi dengan kesalahan. Dan menurut beta justru perilaku seperti inilah yang disebut ber-ETIKA. Lalu bagaimana dengan kegalauan Prof. Kebamoto? Justru apa yang Prof. Kebamoto sampaikan adalah suatu yang tidak mendikdik bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya, dan jelas Prof. kebamoto tidak beretika.

Bagi teman – teman pendukung Ahok yang sering berpendapat demikian: “Ahok memang bahasanya kasar, tapi dia membela masyarakat dan orang bersih”. Jika definisi “bahasa kasar”adalah sesuatu yang tidak etis, maka kita sudah paham bahwa tidak ada etika yang dilanggar Ahok, maka jelas bahasa - bahasa Ahok adalah bukan bahasa kasar/tidak etis, tapi memang pantas dan harus dia katakan. Bahkan Ahok salah satu pejabat yang paling Etis yang pernah kita punyai. Sangat baik sebagai contoh yang ideal untuk pemimpin – pemimpin lainnya dan bagi kita semua.


"Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah." 
(Amsal 27:6) 

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. CONTOH ORANG HEBAT: BERDISKUSI SUBSTANSIF!
    SAYA MEMUJI CARA KAWAN INI MEMBEDAH. WALAUPUN SAYA MASIH BISA MELIHAT HAL-HAL YANG BISA SAYA BANTAH, SAYA TERPUKAU PADA KEHEBATAN KAWAN INI BERDIALEKTIKA!

    BalasHapus
  3. Sodara Van Bart, pokok pikiran kita beda:
    1. Saya: kata-kata tdk etis itu adalah tdk etis kalau digunakan dalam kondi atau situasi apapun. Mengenai konteks Alkitab, saya tdk punya kompetensi. Semoga para pendeta sependapat dengan saya dan memberikan klarifikasi utuh.
    Anda: kata2 tidak etis itu jika diucapkan kepada tujuan yg diasumsikan benar berbuat jahat, maka menjadi etis. Semoga para pendeta tdk sependapat dengan saudara. Jika pun ada, itu di luar urusan saya.

    Semoga putusan hakim Tipikor di kemudian hari tidak berbunyi seperti ini:

    "Demi keadilan dan demi Tuhan yang maha kuasa, hakim memutuskan sebagai berikut:
    1. Bahwa tindakan si Polan ini telah terbukti dan meyakin telah melawan hukum dan si brengsek ini telah memperkaya dirinya.
    2. Menghukum si Maling uang rakyat, si Polan ini untuk mengembalikan kerugian negara sebesar 5 M yang dia curi. Itu bukan uang neneknya si Pilan bajingan.
    3. Perbuatan si Polan TAIK ini dihukum dengan kurungan 20 tahun penjara. Biar dia mampus di penjara.
    4. Hukuman subsider 5 milyar adalah 6 tahun biar si Polan busuk di penjara...

    Dan seterusnya...
    Salam, Kebamoto

    BalasHapus
    Balasan
    1. Prof. Kebamoto Tanabi wrote:
      Sodara Van Bart, pokok pikiran kita beda:
      1. Saya: kata-kata tdk etis itu adalah tdk etis kalau digunakan dalam kondi atau situasi apapun. Mengenai konteks Alkitab, saya tdk punya kompetensi. Semoga para pendeta sependapat dengan saya dan memberikan klarifikasi utuh.
      Anda: kata2 tidak etis itu jika diucapkan kepada tujuan yg diasumsikan benar berbuat jahat, maka menjadi etis. Semoga para pendeta tdk sependapat dengan saudara. Jika pun ada, itu di luar urusan saya.

      Semoga putusan hakim Tipikor di kemudian hari tidak berbunyi seperti ini:

      "Demi keadilan dan demi Tuhan yang maha kuasa, hakim memutuskan sebagai berikut:
      1. Bahwa tindakan si Polan ini telah terbukti dan meyakin telah melawan hukum dan si brengsek ini telah memperkaya dirinya.
      2. Menghukum si Maling uang rakyat, si Polan ini untuk mengembalikan kerugian negara sebesar 5 M yang dia curi. Itu bukan uang neneknya si Pilan bajingan.
      3. Perbuatan si Polan TAIK ini dihukum dengan kurungan 20 tahun penjara. Biar dia mampus di penjara.
      4. Hukuman subsider 5 milyar adalah 6 tahun biar si Polan busuk di penjara...

      Dan seterusnya...
      Salam, Kebamoto

      Tanggapan Ivan Bartels (Van Barts):
      Ada banyak argumen dalam tulisan saya yang ditanggapi Prof. kebamoto, namun nampaknya Prof tidak menanggapi semuanya, mungkin karena tidak punya waktu yang cukup untuk menganggapi semuanya. Atau mungkin juga Prof meringkasnya dengan melakukan penekanan pada definisi. Dan memang benar bahwa suatu tulisan, penting untuk memperhatikan konsistensi definisi terutama terhadap istilah kunci yang digunakan. Dalam bahasan ini memang kata “etis” ini harus didefinisikan dengan konsisten agar gagasan tidak absurd. Untuk itu saya memuji pilihan prof yang nampaknya melakukan penekanan pada perbedaan definisi “etis” yang saya dan prof gunakan.

      Menarik ketika prof Kebamoto mengatakan definisi dia adalah ‘bahasa2’ tsb tdk etis digunakan dalam kondisi apa pun. Sebenarnya beliau tdk membantah apa2 dr tulisan saya, justru sy pun menggunakan definisi beliau tsb utk menunjukan ketidak-konsistennya posisi beliau. Klo semua ‘bahasa2’ tsb tdk etis atau kasar dlm kondisi apa pun, lalu bagaimana dengan bahasa2 senada yg digunakan misalnya dalam kitab suci oleh para rasul prof??? apakah bahasa2 mereka juga dianggap tdk etis dlm ukuran prof? lalu ukuran apa yg prof pakai utk mengukur bahwa hal tsb tdk etis prof? Ini pertanyaan yg sdh sy sampaikan pd tulisan sy sebelumnya. Dan klo maunya prof para pendeta sependapat dengan prof, maka ini berarti para pendeta pun setuju bahwa bahasa2 demikian yg digunakan oleh para rasul adalah tdk etis. Lagi pula, walau semua pendeta sekalipun tdk setuju dengan sy tdk lantas sy menjadi salah. Benar dan salah bukan persoalan berapa banyak pendeta yg mendukung prof, ini akan jatuh pd argumentum ad verecundiam ( http://vanbarts.blogspot.co.id/…/argumentum-ad-verecundiam-… ). Nah, Prof mau pun pembaca nilai sendri konsisten tdk posisi prof ini?!

      Berikutnya, sy copas tanggapan prof yg nampaknya menurut prof adalah gagasan sy.
      “Anda: kata2 tidak etis itu jika diucapkan kepada tujuan yg diasumsikan benar berbuat jahat, maka menjadi etis”
      Dimana sy tulis (atau setidaknya dlm makna demikian) bahwa kata2 “tdk etis” digunakan utk tujuan benar prof? ataukah yg sy katakan adalah kata2/bahasa tsb blm tentu adalah tdk etis tergantung penggunaannnya. Cob abaca kembali Tulisan sy yg bahkan ada contoh kasusnya juga. Maka jelas Prof Cuma menyerang strawman terhadap posisi sy (strawman adalah menyerang yg bukan gagasan lawan diskusi, atau menyerang asumsi sendiri yg dikira adalah gagasan lawan diskusi).

      Yg berikut, nampaknya prof menggunakan analogi kasus pengadilan tipikor sebagai bentuk serangan logical ad hominem terhadap posisi beta, sayangnya walau “kata2” tsb tdk digunakan dalam pengadilan pun tdk membuat bahwa kata2 tsb tdk etis digunakan. Tdk etis bukan berarti keharusan digunakan dlm pengadilan atau kondisi formal lainnya prof.

      Salam, Van Barts

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ORANG - ORANG POTENSIAL DALAM GEREJA HARUS 'DIMAKSIMALKAN' BUKAN 'DIMANFAATKAN'

APAKAH DENGAN MENGATAKAN KEBENARAN KEPADAMU, AKU TELAH MENJADI MUSUHMU? (Menanggapi tulisan Pdt. Norman M. Nenohai)

Teologi Kidung Jemaat