KOMPLEKSITAS MASALAH CORONA DI NTT


Beberapa hari ini beta galau dengan serangan Covid 19, yang makin kesini makin tinggi jumlah yang terinfeksi dan cepat pula penyebarannya. Namun ini bukan soal virusnya, tapi soal kesiapan kita mengadapi virusnya. Ada dua pihak yang berperan dalam perang ini, yaitu: PEMERINTAH dan MASYARAKAT. Masyarakat dituntut untuk tetap diam di rumah, bersih – bersih dan meminimalisir kontak fisik (kumpul – kumpul, keramaian, dsb). Hal ini yang sejak awal selalu diserukan semua orang, baik pemerintah maupun oleh sebagian masyarakat sendiri. Dan tentu saja, kelihatannya masyarakatlah pihak yang paling ‘nakal’. Susah dinasehatin, keras kepala, tidak mau dengar arahan pemerintah, dan sebagainya. Ok, ada benarnya. Ada sebagian masyarakat yang tidak mau nurut pada himbauan pemerintah untuk berdiam diri dirumah, yaitu melakukan segala beraktivitas, baik belajar dan bekerja dari rumah, sampai keadaan normal kembali. Tapi, ada sebagian masyarakat yang memang tidak dapat melakukan itu. Mereka bekerja di lapangan, bukan di rumah. Ojek, pekerja bangunan, penjaga toko, dll. Siapa yang menjamin kehidupan mereka, kalau mereka harus diam di rumah? Pemerintah? Beta tidak yakin! Ok, kalau begitu mereka tetap bekerja untuk mencari nafkah, tapi siapa yang bisa jamin mereka aman dari bahaya covid 19? Pemerintah? Beta tidak yakin! Bahkan sebagian kantor – kantor pemerintah di NTT pun masih tetap buka kok! Jangan tanya lagi kantor – kantor swasta. Apakah dengan sebagian masyarakat di rumah dan sebagian tetap berada di luar, maka covid 19 berhasil kita halau? Beta tidak yakin, juga! Maka jelas himbauan “Social Distancing” belum bisa sepenuhnya dilakukan oleh seluruh masyarakat. Cara ini tidak efektif, harus didukung dengan cara lain yang lebih baik lagi untuk menghadapi bahaya wabah yang mematikan ini. Mengharapkan kesadaran masyarakat sama halnya dengan 'pungguk merindukan bulan'. Hal yang hampir mustahil terjadi.

Lalu apa yang bisa kita andalkan? Satu – satunya yang kita punya adalah mengandalkan kekuatan pemerintah. Pemerintahlah pihak yang paling tepat untuk dapat mengontrol dan mengendalikan situasi darurat seperti ini. Tentu saja sudah dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan pengawasan pada titik – titik krusial masuknya virus ini, serta memaksimalkan aspek medis yang kita miliki. Apakah ini cukup? Entahlah. Penulis hanya dapat menilai sejauh yang dapat penulis amati. Baik, kita coba lihat satu – satu. Pertama, pengawasan pintu – pintu masuk (udara, laut dan darat). Ambil contoh di bandara, telah dipasang alat pendeteksi suhu tubuh dan beberapa fasilitas penunjang untuk mengantisipasi penyebaran virus ini. Kita bagi dalam dua bagian, yaitu: ‘Aspek Medis’ dan ‘Aspek Non Medis’. Secara medis, tidak semua yang terkena Covid 19 mengalami demam atau gejala – gejala khas lainnya. Orang dengan imun yang baik, tidak mengalami gejala – gejala tersebut, tapi tetap bisa menularkan pada orang lain. Siapa yang bisa jamin kalau orang dengan kondisi tersebut tidak ada di NTT? Berikutnya, ‘Aspek Non Medis’. Sejauh ini sudah ada ratusan ODP (Orang Dalam Pantauan) di NTT yang katanya jumlahnya sudah menurun dan sebagiannya sudah dinyatakan negative Covid 19. Syukurlah. Rata – rata mereka adalah orang – orang yang sehabis berpergian dari luar daerah. Sebagian punya kesadaran untuk memeriksakan diri dan mengisolasikan diri, tapi bagaimana dengan yang lainnya? Tidak ada jaminan mereka akan disiplin taat pada anjuran pemerintah. Beberapa orang yang beta tahu baru pulang dari luar daerah, tidak mentaati anjuran pemerintah untuk mengisolasi diri secara mandiri di rumah selama 14 hari. Apa yang bisa kita harapkan dari sistem pengawasan seperti ini?

Yang kedua, pemerintah memaksimalkan aspek medis untuk melayani masyarakat NTT yang terinfeksi. Kita boleh sedikit lega karena walau pengawasan belum maksimal, setidaknya medis kita siap dan sigap untuk menanggulangi pasien – pasien Covid 19. Apakah anda yakin medis kita siap? Beta membaca media bahwa Pemprov. NTT menggunakan beberapa gedung yang akan disulap menjadi tempat penanganan pasien Covid 19, serta melengkapinya dengan fasilitas – fasilitas pendukungnya. Usaha yang baik dan patut diapresiasi. Tapi apakah itu cukup? Beta tidak tahu. Yang beta tahu adalah diuar negeri, Negara – Negara yang terserang Covid 19 kewalahan menampung maupun mengobati pasien – pasien yang ada.  Di Italy contohnya, para dokter terpaksa harus memprioritaskan pasien yang dianggap masih bisa diselamatkan dan membiarkan pasien lainnya meninggal begitu saja. Hal ini terjadi karena jumlah pasien yang terinfeksi terlalu banyak dan tidak sebanding dengan kemampuan medis di Italy. Sebagai Negara maju, Italy memiliki medis yang sangat mumpuni pun kewalahan, apa lagi kita?! Tapi mungkin akan ada argumen lainnya, yaitu kondisi di Italy tidak sama dengan di NTT. Bisa jadi demikian, tapi kembali lagi melihat sistem pengawasan kita, siapa yang bisa jamin NTT akan aman dan tidak menjadi buruk seperti Italy? atau bahkan menjadi lebih buruk lagi. Jubir satgas Covid 19 di papua pun mengakui bahwa mereka tidak sanggup menanggulangi pasien Covid 19, jika jumlahnya membludak. Atau apakah daerah – daerah yang terkena Covid 19 di Jawa misalnya, kemampuan medisnya tidak lebih baik dari NTT? Beberapa media menulis pengeluhan tenaga medis di beberapa daerah yang kekurangan ADP (Alat Pelindung Diri), bagaimana dengan medis di NTT? Dengan sistem penanggulangan yang ada, kenapa jumlah yang terinfeksi makin banyak dengan angka kematian yang tinggi pula? Apa yang salah atau apa yang kurang? Demikian hal – hal yang harus kita pikirkan lagi, apakah sudah cukup dengan apa yang sudah kita lakukan sekarang ini.

Terhadap kompleksitas ini, beberapa pihak sudah mendengungkan untuk segera dilakukan lockdown. Untuk skala nasional, rasanya belum dibutuhkan. Untuk skala lokal, mungkin patut dipikirkan. Namun perlu dipertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek ekonomi. Misalnya membandingkan jumlah kerugian ekonomi yang terjadi jika melakukan lockdown, dengan jumlah yang terinfeksi kalau tetap seperti ini, dan lain sebagainya. Ada pula pihak yang lebih meniti-beratkan pada perbaikan sistem pengawasan yang harus lebih baik dan ketat lagi, dari pada di-lockdown. Terserah, tidak masalah. Namun demikian, masalahnya bukan pada lockdown atau tidak, atau apapun itu, tapi lebih pada menuntut pemerintah segera mengambil sikap yang lebih lagi dalam usaha penanggulangan penyebaran virus ini. Pemerintah harus sesegera mungkin memutuskan langkah strategis yang relevan, cepat dan yang paling minim resiko. Kita tidak bisa bertahan dengan apa yang sudah dilakukan saat ini. Perlu dilakukan langkah yang tidak biasa. Sejak diberlakukan ‘social distancing’ sampai dengan saat ini, selain yang sudah dilakukan, belum ada langkah – langkah ‘luar biasa’ oleh pemprov NTT untuk menghadang laju penyebaran virus ini. Terlepas dari semua ini, sebagai bagian dari masyarakat, beta tetap percaya pemprov NTT dapat melakukan  yang terbaik bagi masyarakat. Pemerintah yang mempunyai kekuatan dan memiliki segala sumber daya untuk dapat membuat suatu kebijakan yang berguna bagi kemasyalatan masyarakat NTT. Segeralah ‘menjentikan jari’ pak Gubernur, rakyatmu menanti dan bergantung padamu.     


#SapotongLalepakBaomong


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ORANG - ORANG POTENSIAL DALAM GEREJA HARUS 'DIMAKSIMALKAN' BUKAN 'DIMANFAATKAN'

APAKAH DENGAN MENGATAKAN KEBENARAN KEPADAMU, AKU TELAH MENJADI MUSUHMU? (Menanggapi tulisan Pdt. Norman M. Nenohai)

Teologi Kidung Jemaat