TANGGAPAN TERHADAP SURAT PENEGASAN SINODE GMIT, SEKALIGUS MEMBANTAH ASUMSI MIRING PUBLIK TERKAIT IBADAH ‘RABU ABU’



Kepada Yth.

Ketua Majelis Sinode GMIT

Di

     Tempat

 

TANGGAPAN TERHADAP SURAT PENEGASAN SINODE GMIT, SEKALIGUS MEMBANTAH ASUMSI MIRING PUBLIK TERKAIT IBADAH ‘RABU ABU’

Shalom…

Surat ini adalah tanggapan saya terhadap surat penegasan dari Majelis Sinode GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) tanggal 18 Februari 2021 kepada Ketua Majelis Jemaat GMIT Paulus, tentang Perayaan ‘Rabu Abu’ yang dilaksanakan oleh Jemaat Paulus pada Rabu, 17 Februari 2021, sekaligus membantah asumsi – asumsi miring terkait ibadah/perayaan ‘Rabu Abu’ yang saya baca di berbagai media sosial (Medsos). Sebelum saya masuk pada poin yang ingin saya tanggapi, saya perlu menegaskan beberapa hal terlebih dahulu.

Pertama: Fokus perhatian saya disini lebih kepada tanggapan terhadap surat Majelis Sinode GMIT tersebut, bukan ikut campur atau mengurusi kegiatan atau apapun yang dilakukan di Jemaat Paulus. Itu bukan fokus saya.

Kedua: Tanggapan saya disini terlepas dari apa yang terjadi atau bagaimana isi liturgi ibadah ‘Rabu Abu’ serta praktek – praktek yang dilakukan dalam ibadah tersebut, karena memang saya tidak mengikuti ibadah tersebut dan tidak juga menyaksikannya di media – media yang tersedia. Maka, jika ada praktek – praktek yang melenceng selama ibadah tersebut berlangsung, hal tersebut diluar lingkup tanggapan saya ini. Lagi pula, surat Majelis Sinode pun nampaknya tidak menyinggung atau mempermasalahkan isi ibadahnya, melainkan lebih pada tradisi ibadah ‘Rabu Abu’.

Ketiga: Surat Majelis Sinode GMIT ini ditujukan kepada ketua Majelis Jemaat GMIT Paulus, tapi kenapa saya yang bukan umat Jemaat Paulus yang menanggapinya? Saya juga tidak diminta oleh pihak Jemaat Paulus ataupun perwakilan Jemaat Paulus untuk mewakili mereka. Saya juga bukan umat Jemaat Paulus. Jadi jika Majelis Jemaat Paulus mau menanggapi surat penegasan Majelis Sinode atau tidak, itu bukan urusan saya. Fokus saya adalah surat penegasan Majelis Sinode tersebut dapat berdampak bagi seluruh jemaat di GMIT, baik secara teologis maupun organisatoris. Karena itu sebagai bagian dari GMIT saya terpanggil untuk menanggapi surat sinode tersebut.  

Demikian Hal – hal yang perlu saya tegaskan agar surat saya ini tidak disalah-pahami oleh bapak/ibu saudara/i sekalian. Sebelum masuk pada tanggapan terhadap surat Majelis Sinode GMIT tersebut saya intro dulu. Saya mengetahui tentang polemik Ibadah Rabu Abu ini dari Medsos. Informasi tentang ibadah Rabu Abu di Medsos mendapat banyak tanggapan penolakan yang antara lain menyatakan bahwa kegiatan ini bertentangan dengan ajaran GMIT. Namun walaupun tidak lazim di gereja Calvinis, saya melihat ibadah yang melambangkan perkabungan dan pertobatan ini sejalan dengan beberapa ayat Alkitab, seperti;  Ester 4:1, Ayub 42:6 dan Matius 11:21. Selain itu ada beberapa rujukan PGI serta Sinode GMIT sendiri yang tidak mengharamkan tradisi Rabu Abu[1]. Alasan lain yang dimunculkan adalah Rabu Abu bukan tradisi kita. Namun kalau tidak salah ingat, tradisi bukan standar. Tradisi perlu dinilai berdasarkan Alkitab.

Dengan mengingat pengantar di atas, saya masuk pada tanggapan saya terhadap surat Majelis Sinode GMIT tersebut. Dalam surat yang cukup singkat itu, saya menangkap sedikitnya ada 3 poin yang menyebabkan Majelis Sinode meminta agar perayaan/ibadah ‘Rabu Abu’ tidak boleh diadakan lagi, yaitu: ‘Karena ada pertanyaan dan protes dari berbagai pihak’, ‘Tidak ada kesepakatan teologis (asas presbiterial sinodal)’ dan ‘Naskah ibadah sinode GMIT tidak mengatur soal ‘Rabu Abu’ maupun ‘Kamis Putih’. Pertama, ‘karena ada pertanyaan dan protes dari berbagai pihak. Saya pikir ini hal yang baik kalau Majelis Sinode GMIT sudah mulai menciptakan iklim yang baik dalam merespon dinamika yang terjadi di jemaat. Saya perlu mengapresiasi agresivitas Majelis Sinode GMIT dalam menanggapi pertanyaan dan protes – protes yang ada. Namun tentu saja kecepatan merespon harus dibarengi dengan ketepatan dalam pengambilan keputusan dan sikap. Tentu saja tidak semua bentuk protes harus diterima begitu saja. Ketika Yesus dibawa ke hadapan Pontius Pilatus, banyak orang meminta Dia untuk disalibkan dan akhirnya Yesus pun disalibkan. Saya kira Majelis Sinode GMIT menolak berlaku seperti Pontius Pilatus bukan? Saya pun berharap demikian.

Berikutnya poin ‘Tidak ada kesepakatan teologis (asas presbiterial sinodal)’ dan ‘Naskah ibadah sinode GMIT tidak mengatur soal ‘Rabu Abu’ maupun ‘Kamis Putih’, saya akan membahasnya sekaligus. Seperti yang sudah saya sampaikan di ‘intro awal’ tulisan ini bahwa tradisi ibadah ‘Rabu Abu’ sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran GMIT, maka harusnya surat penegasan Majelis Sinode GMIT ini bukan fatwah untuk mengharamkan tradisi ‘Rabu Abu’ atau menyatakan ‘Rabu Abu’ bertentangan dengan ajaran GMIT. Tapi kalau saya keliru memahami maksud surat sinode ini, maka saya meminta Majelis Sinode GMIT untuk menyampaikan kajian teologis bahwa perayaan ‘Rabu Abu’ bertentangan dengan ajaran GMIT. Baik, saya lanjutkan. Jika kita sepakat bahwa ‘Rabu Abu’ tidak bertentangan dengan ajaran GMIT, maka nampaknya alasan pelarangan perayaan/ibadah ‘Rabu Abu’ adalah karena belum ada kesepakatan teologis. Karena GMIT menganut asas presbiterial sinodal, maka dasar penolakan Majelis Sinode GMIT adalah karena belum ada kesepakatan untuk melakukan ibadah ‘Rabu Abu’ atau belum mengatur perihal perayaan ini. Nampaknya cukup masuk akal, tapi akan terasa aneh kalau kita telaah lebih jauh lagi. Benar bahwa asas presbiterial sinodal berarti pelayanan ditata dan  diselenggarakan  secara  bersama - sama  oleh  para  Presbiter  dalam  roh  persekutuan  untuk  melayani  bersama - sama  sebagai  sesama  kawan  sekerja  Allah, namun apakah semua bentuk ibadah harus melalui kesepakatan teologis? Nampaknya Majelis Sinode terlalu berlebihan dalam hal ini. Mungkin Majelis Sinode lupa bahwa dalam Naskah Teologi Liturgi GMIT tahun 2019, bagian Pengantar paragraf keempat membebaskan praktik ibadah di jemaat – jemaat GMIT sebagai bagian dari kreativitas Majelis Jemaat sepanjang memperhatikan dasar – dasar teologis  sehingga tidak terjadi penyimpangan. Nah, ibadah ‘Rabu Abu’ sendiri tidak menyalahi dasar – dasar teologi GMIT, kenapa tidak-diperbolehkan? Tapi masih ada argumen lainnya, yaitu perayaan/ibadah ‘Rabu Abu’ tidak  masuk dalam  hari raya gerejawi di GMIT. Mungkin Majelis Sinode tidak pernah tahu kalau ada gereja di GMIT dalam berbagai level (baik pemuda, PAR, kategorial, dan lain - lain) juga pernah merayakan ‘Valentine Day’ sudah sejak lama. Sewaktu saya masih aktif pelayanan di pemuda, sangat sering pemuda kami  ikut merayakan ‘Valentine Day’ melalui ibadah – ibadah pemuda. Apa karena tidak ada yang protes, maka ‘Valentine Day’ boleh dirayakan? Ataukah sudah ada kesepakatan teologis untuk merayakan ‘Valentine Day’? Kalau belum ada, Kenapa selama ini Majelis Sinode tidak pernah membuat surat penegasan untuk melarang perayaan ‘Valentine Day? Dengan demikian konsistensi Majelis Sinode tidak kami sangsikan. Dan bisa jadi ada juga perayaan lain selain ‘Rabu Abu’ dan ‘Valentine Day’ yang sudah dilakukan tapi tidak pernah ada surat yang melarang. Hal lainnya, saya mendapat informasi juga bahwa di masa jabatan Pdt. Dr. Ebenhaezer Nuban Timo sebagai ketua Majelis Sinode GMIT, pernah ada surat edaran melakukan ibadah ‘Rabu Abu’ (kalau informasi ini keliru, saya minta maaf. Tolong dikoreksi). Apakah waktu itu ibadah ‘Rabu Abu’ sudah ada kesepakatan teologis atau sudah masuk dalam hari raya gerejawi baru kemudian ditiadakan lagi? Atau bagaimana? Yang lebih menarik lagi, ternyata Jemaat Silo Naikoten pernah melakukan ibadah ‘Rabu Abu’ pada tahun 2019, tepatnya tanggal 17 April 2019,  yang dipimpin oleh Ibu Pdt. Ira Wonlele, S. Th. Kenapa Majelis Sinode GMIT tidak menyikapinya? Belum lagi soal seruan puasa setiap Jumat oleh Majelis Sinode GMIT, apakah ada dalam Peraturan Ibadah GMIT? Ibadah Pasutri tanggal 17 Oktober 2020 ada dalam Peraturan ibadah GMIT? Apakah perlu dibuatkan surat teguran untuk Majelis Sinode GMIT karena sudah merancangkan ibadah – ibadah yang tidak tercantum dalam Peraturan Ibadah GMIT? Bagaimana Majelis Sinode GMIT menjawab semua ini? Melihat fakta - fakta yang ada, maka surat penegasan yang dikeluarkan oleh Majelis Sinode GMIT ini nampak  tidak mendasar, prematur dan terkesan asal – asalan saja. Hal ini dapat mencoreng kewibawaan GMIT akibat dari pengambilan keputusan yang buruk.  Dan tentu saja dapat menimbulkan polemik di jemaat.

Terakhir, saya perlu sampaikan bagaimana kita memahami perintah, larangan, maupun hal – hal yang tidak pernah diperintahkan dan tidak pernah dilarang. Jika Alkitab memerintahkan sesuatu, maka hal tersebut wajib untuk dilakukan. Misalnya: ‘Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat’, ini adalah perintah yang tidak boleh diabaikan. Kalau diabaikan sama dengan kita melawan Allah. Demikian juga untuk hal yang dilarang dalam Alkitab. Misalnya ‘Jangan membuat patung dan menyembahnya’, jelas ini larangan yang tidak boleh dilanggar. Namun demikian ada juga hal – hal yang tidak diperintahkan, tapi tidak juga dilarang karena tidak bertentangan dengan Alkitab, Contohnya merayakan Natal. Alkitab tidak pernah memerintahkan untuk merayakan Natal, tapi Alkitab juga tidak pernah melarang kita merayakan Natal, karena merayakan Natal bukan suatu yang bertentangan dengan Alkitab. Jadi apakah boleh merayakan Natal? Boleh boleh saja. Nah, demikian juga dengan ibadah ‘Rabu Abu’, tidak ada keharusan merayakannya, tapi juga tidak ada larangannya, karena memang tidak bertentangan dengan Alkitab. Jadi bolehkah melakukan ibadah ‘Rabu Abu’? Boleh boleh saja. Nah, hal – hal seperti ini harus kita perhatikan baik – baik agar tidak jatuh dalam kekeliruan berpikir yang dapat menyesatkan pikiran kita.

Sebagai penutup, saya berharap Majelis Sinode GMIT dapat menjawab dan memberikan penjelasan yang memadai serta mendasar, sehingga tidak membingungkan kami sebagai umat dan agar tidak menimbulkan prasangka negatif atas sikap Majelis Sinode GMIT terhadap permasalahan ini. Dan jika ini suatu kekeliruan, saya berharap Majelis Sinode berbesar hati untuk meminta maaf kepada seluruh jemaat GMIT, terkhususnya kepada Jemaat Paulus. Demikian tanggapan saya ini, selebihnya saya mohon maaf  jika ada hal – hal yang tidak berkenan. Kiranya  Tuhan Yesus Sang Kepala Gereja memberkati kita semua.

Soli Deo Gloria

 


Kupang, 21 Februari 2021

 

 

Steef Yunivan Bartels

(Pemuda GMIT)

 

Tembusan:

1.       Ketua Majelis Klasis Kota Kupang.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ORANG - ORANG POTENSIAL DALAM GEREJA HARUS 'DIMAKSIMALKAN' BUKAN 'DIMANFAATKAN'

APAKAH DENGAN MENGATAKAN KEBENARAN KEPADAMU, AKU TELAH MENJADI MUSUHMU? (Menanggapi tulisan Pdt. Norman M. Nenohai)

Teologi Kidung Jemaat