ORANG - ORANG POTENSIAL DALAM GEREJA HARUS 'DIMAKSIMALKAN' BUKAN 'DIMANFAATKAN'

Sudah dua tahun beta tidak menulis di blog ini, karena lebih fokus pada pelayanan di YouTube dan terlebih di TikTok, puji Tuhan akhirnya ada kesempatan untuk menulis lagi. Ok tanpa babibu lagi kali ini beta akan membahas satu hal penting dalam pelayanan di gereja. Selamat membaca.   

Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul (terutama pemuda) di gereja kita cenderung DIMANFAATKAN bukan DIMAKSIMALKAN. Dimanfaatkan keahlian atau talentanya utk mengikuti konsep pelayanan pemimpin/penguasa gereja, dengan alih-alih mengembangkan dan menyalurkan talenta pemuda, pada hal lebih cenderung untuk memuaskan 'nafsu' konsep pelayanan penguasa yang dirasa sudah mentereng itu. 

Kita tidak bisa menggunakan pemuda atau orang-orang potensial dalam gereja  seperti sapi perah yang hanya sebatas 'digunakan', tapi tidak diajak sumbang gagasan. Dalam menjalankan manajemen gereja, sebaiknya memberi ruang yang cukup untuk setiap individu didalamnya dapat memaksimalkan kemampuan mereka, dengan memberi ruang kreatifitas yang cukup bagi orang-orang yang potensial. Ide dan gagasan yang brilian tidak selalu atau bukan milik presbiter maupun petinggi gereja saja. Yang perlu dilakukan oleh para pemimpin dalam gereja adalah menunjukan rel pelayanan yang harus dilalui oleh semua pendukung pelayanan gereja agar sesuai dengan tata aturan gereja dan yang terutama harus berlandaskan pada Alkitab. 

Jika ingin membuat acara musik yang bagus misalnya, libatkan orang-orang yang kompeten di bidang musik maupun yang terkait untuk urung rembuk berdiskusi, bukan memgkonsepkannya sendiri dan tinggal menyuruh pemusik mengeksekusi konsep kita. Demikian juga untuk banyak hal lainnya seperti liturgi, multimedia, data base jemaat, dsb . Ini contoh praktek manajemen pelayanan yang kurang baik. Iklim pelayanan dalam gereja sebaiknya adalah t'eamwork' bukan gaya 'ngeBOS' yang orang tinggal nurut saja apa yang sudah kita konsepkan.

Ibrani 10:24 memerintahkan kita untuk saling memperhatikan, saling mendorong. Menggunakan diksi 'saling', yang tentu saja dua arah bukan hanya satu arah. Maka sebaiknya gaya pelayanan dalam gereja adalah bersama-sama dan bekerja sama. Hal ini pun juga seturut dengan sistem gereja presbiterian yang keputusannya diambil secara kolektif, bukan keputusan perorangan. Dalam sistem Prebiterian Sinodal, seorang pendeta yang walau sebagai ketua majelis/sinode pun bukan penentu keputusan. Sayangnya sebagian jemaat kita tidak memahami hal ini. Sebagian jemaat terkungkung dengan asumsi bahwa suara Pendeta adalah suara Tuhan yang tidak boleh dibantah dan ditolak. Dan mungkin sebagian pendeta memanfaatkan kondisi ini untuk bersikap otoritarian dalam gereja yang berasaskan sistem Presbiterian, dan sebagian pendeta lainnya nampaknya tidak paham hal ini (setidaknya beta pernah melihat dan megalami didesak oleh oknum pendeta untuk mengikuti kehendak mereka).  

Kembali lagi soal potensi - potensi gereja yang dimanfaatkan. Secara organisatoris, para presbiter harus memiliki kesadaran bahwa mereka itu adalah alat manajemen yang bertugas menjalankan mesin organisasi untuk mencapai tujuan organisasi, bukan pihak yang ahli mengerjakan semua hal. Maka hal - hal terkait pelayanan yang membutuhkan pihak expert, harus melibatkan orang - orang yang dianggap ahli di bidang - bidang pelayanan tersebut. Tapi masalahnya ada sebagian presbiter dan pendeta kita yang merasa bahwa mereka juga paham bidang - bidang yang sebenarnya bukan bidang keahlian mereka. Ini memang penyakit akut nan kronis dalam gereja kita yang masih menjalankan roda pelayanan dengan manajemen primitif. Contoh sederhana, masih banyak gereja kita yang menggunakan database manual, pada hal ada jemaatnya yang paham membuat database on line tidak mereka libatkan dan lebih mungkin mereka tidak paham hal ini. Contoh lain, dalam bincang informal beta pernah mengusulkan pengadaan sound system di gereja tertentu yang biayanya hampir 1 miliar rupiah tapi mereka kaget setengah mati dan menganggap beta terlalu berlebihan. Menurut mereka biayaanya cukup 50 juta saja hehe...Jadi kalaupun mereka melibatkan orang - orang yang paham, tetap saja harus mengikuti apa mau mereka. jadi memang hanya dimanfaatkan saja, bukan dimaksimalkan. Dan lebih buruk lagi tidak mereka libatkan sama sekali, dan orang - orang potensial dalam gereja tersebut malah 'dipakai' oleh pihak luar untuk meningkatkan pelayanan di gereja mereka. 

Memang miris dan memprihatinkan kondisi gereja kita. Terhadap perkembangan teknologi, GMIT kelihatannya bebaris diurutan palig belakang, sedangkan gereja lainnya sudah melesat dengan pelayanan berbasis digital (tentu saja sejauh pengamatan beta, sudah ada beberapa gereja di GMIT yang demikian, tapi tidak banyak). Bencana Covid kemarin, sebagian gereja di GMIT tidak siap dengan kondisi tersebut, disaat gereja lainnya tetap mulus menjalankan pelayanan kebaktian tiap minggunya.  Ini problem yang harus segera dipikirkan oleh gereja agar tidak dilindas jaman. Tapi masalahnya sebagian presbiter (pelaku manajemen gereja) kita tidak menyadari masalah ini dan merasa pelayanan sedang baik - baik saja. Lalu bagaimana sudah? Mau tidak mau perlu adanya peremajaan intelektualitas pelayan struktural di gereja. Gereja saat ini membutuhkan pelayan Tuhan yang selain memiliki hati dan seorang yang sudah bertobat, haruslah memiliki kecakapan intelektualitas yang dapat menjawab tantangan jaman. Orang muda yang biasnya memiliki kualifikasi ini. Orang muda harus didorong untuk menjadi bagian langsung dari pelayanan gereja, agar gereja tidak terlihat seperti tempat yang usang dan primitif ditengah - tengah kemajuan jaman yang tak mungkin dibendung ini. 

Akhirnya kata.... "Teologi gereja tetap harus konservatif (Cakeppp...), namun manajemen gereja harus terus kreatif dan inovatif"  

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

APAKAH DENGAN MENGATAKAN KEBENARAN KEPADAMU, AKU TELAH MENJADI MUSUHMU? (Menanggapi tulisan Pdt. Norman M. Nenohai)

Teologi Kidung Jemaat