JANGAN KUATIR DAN KEUTAMAAN KEBENARAN ALLAH (Kritik terhadap tema khotbah dan khotbah tertentu dari bacaan: Matius 6:25-34)
Yesus mengingatkan bahwa hidup manusia sering kali terjebak dalam lingkaran kebutuhan jasmani: makan, minum, pakaian, keamanan, dan keberhasilan. Semua itu penting, tetapi tidak kekal. Karena itu, Ia mengajarkan agar kita tidak menaruh fokus utama di sana. Bukan berarti kita tidak boleh bekerja, merencanakan, atau berusaha, melainkan supaya kita sadar bahwa semua itu hanyalah bagian dari realitas dunia yang akan berlalu.
Sebaliknya, Yesus menuntun kita untuk menempatkan yang kekal sebagai pusat orientasi hidup: “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.” Kalimat ini bukan sekadar anjuran moral agar kita “melayani Tuhan lebih dulu,” tetapi perintah untuk menghidupi realitas ilahi yang melampaui semua yang sementara.
Mendahulukan Kerajaan Allah berarti mengarahkan seluruh hidup pada pemerintahan Allah, hidup di bawah kehendak-Nya, mengenal Dia sebagaimana Ia menyatakan diri-Nya dalam Firman. Dan mendahulukan “kebenaran-Nya” berarti memberi tempat pertama bagi pengenalan akan Allah yang benar, karena dari sanalah iman tumbuh. Seperti yang dikatakan Roma 10:17, “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”
Artinya, prioritas utama seorang percaya bukanlah sekadar melakukan banyak hal baik, tetapi mengetahui kebenaran yang benar tentang siapa Allah itu, supaya dari kebenaran itulah tindakan kita mendapat arah dan makna. Kegiatan sosial, peduli lingkungan, kepedulian terhadap sesama, dan kerja kemanusiaan memang baik, tetapi semuanya hanya menemukan nilainya bila berakar pada pengenalan akan Allah yang benar. Penekanan PALING PENTING dari bacaan ini adalah ayat 33, bukan soal pemeliharaan alam. Bahwa kita perlu mengelola sampah, dsb. Itu hal yang baik, tapi jika fokus pembahasan dari atas mimbar hanya fokus pada hal-hal tersebut, maka jauh lebih baik kita mengundang seorang ahli ekologi yang berkhotbah dari atas mimbar. Sekali lagi, tidak sedang mengatakan aktifitas sosial tersebut adalah salah, tapi jika fokus utama gereja hanya sebatas itu, maka semua itu tetaplah berada dalam wilayah yang fana: berguna, tetapi tidak kekal. Dan tentu saja, secara teologi (dan tentu saja iman) hal tersebut adalah salah.
Dalam hal ini, Lukas 10:42 memberi gambaran yang tepat. Ketika Marta sibuk melayani dan Maria duduk diam mendengarkan Yesus, Sang Guru menegaskan, “Hanya SATU saja yang perlu; Maria telah memilih bagian yang terbaik.” Maria memilih untuk berdiam di hadapan Firman, karena ia tahu bahwa mendengar kebenaran lebih utama daripada sekadar melakukan banyak hal tanpa arah rohani. Marta tidak salah karena melayani, tetapi ia kehilangan prioritas. Begitu pula kita, kesibukan hidup sering membuat kita lupa bagian yang terbaik: mengenal dan berpegang pada kebenaran Allah.
Maka, perintah “jangan khawatir” bukan sekadar janji pemeliharaan, melainkan ajakan untuk menata ulang orientasi hidup kita. Kekhawatiran lahir ketika yang fana menjadi pusat perhatian. Tetapi damai lahir ketika yang kekal menjadi fondasi hidup. Ketika seseorang benar-benar mendahulukan Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, ia akan melihat segala hal duniawi seperti pekerjaan, harta, bahkan penderitaan dalam terang kekekalan.
Pada akhirnya, Yesus tidak meminta kita mengabaikan dunia, melainkan menghidupi dunia dengan cara yang baru: melihat setiap hal fana sebagai sarana untuk menggenapi tujuan yang kekal. Barulah saat itu, janji-Nya menjadi nyata: “Semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Sebab ketika yang kekal menjadi pusat hidup, yang fana akan menemukan tempatnya yang tepat bukan lagi sumber kekhawatiran, melainkan wadah bagi kemuliaan Allah.

Komentar
Posting Komentar