TANGGAPAN UNTUK TULISAN ROMO FRANZ MAGNIS-SUSENO YANG MENOLAK “HUKUM MATI”
Berikut
adalah tanggapan beta atas tulisan disini atau disini, tentang ketidak-setujuan Romo Franz Magnis Suseno di-berkalukannya Hukuman Mati.
Dalam tulisan tersebut Romo Magnis mengajukan empat alasan menolak Hukuman Mati.
Beta pun akan langsung menanggapi keempat alasan tersebut. Berikut tanggapan beta:
Romo Magnis: Pertama, sistem yudisial kita belum bersih dari
praktik korup. Masa kita bersedia membunuh orang atas keputusan lembaga-
lembaga yang tidak dapat dipastikan kejujurannya!
Van Barts: Kalau demikian bukan hanya hukuman mati, tapi hukuman apa
pun juga menjadi tidak boleh, karena sistem yudisial kita belum bersih dari
praktik korup. Ini standar ganda namanya.
Romo Magnis: Kedua adalah prinsipiil: hukuman mati satu-satunya
hukuman yang tidak dapat dicabut sesudah dilaksanakan. Padahal, kemungkinan
kekeliruan selalu ada. Sistem terbaik pun tidak dapat 100 persen menjamin bahwa
suatu putusan pengadilan tidak keliru.
Van Barts: Ya, kekeliruan bisa saja terjadi. Dan ini bukan hanya hukuman
mati yang tidak dapat dicabut, tapi semua hukuman (yang paling ringan sekali
pun) jika terjadi kekeliruan pun tidak dapat dicabut juga. Seseorang yang diputuskan
masuk penjara 1 tahun, ketika dikemudian hari ternyata dia tidak bersalah pun
dia sudah menjalani hukuman satu tahun yang tidak dapat dicabut lagi, tetap
saja dia sudah menjalani hukuman selama satu tahun. Demikian untuk hukuman
mati, tidak dapat mengembalikan nyawa terhukum. Yang membedakan adalah “faktor
resiko”. Jadi kalau mau ikuti argumen anda, maka ini pun harus berlaku pada
semua jenis hukuman, bukan hanya hukuman mati.
Romo Magnis: Ketiga, menyangkut harkat kemanusiaan. Membunuh
orang, kecuali untuk membela diri atau dalam pertempuran militer resmi adalah
tindakan yang tidak termasuk wewenang manusia. Bukan kita yang memasukkan diri
kita ke dalam eksistensi dan bukan kita yang berhak mencabut eksistensi itu.
Maka, menghukum penjahat dengan mencabut nyawanya sebenarnya merupakan hujatan
terhadap Yang Memberi Hidup. Tak kurang!
Van Barts: Jika yang anda maksudkan merujuk pada pandangan teis (merujuk
pada Alkitab), hukuman mati yang telah diatur dalam konstitusi justru adalah wujud
kewenangan Allah melalui pemerintah (Roma 13:4).
Bagaimana bisa disebut hujatan?
Romo Magnis: Mungkin orang bilang: bukankah hukuman
mati belum begitu lama dilaksanakan di semua negara dan masyarakat di dunia dan
dibenarkan oleh semua agama? Kok mendadak dianggap tidak dapat dibenarkan?
Argumen ini tidak kuat. Bahwa sebuah perbuatan (hukuman mati) disetujui luas
tidak berarti perbuatan itu tidak bisa jahat. Sama tidak benarnya seperti
semboyan vox populi vox Dei: ("suara rakyat adalah suara
Tuhan"). Suara rakyat jelas bukan suara Tuhan. Suara rakyat bisa juga
jahat. Tak ada suara manusia—baik seseorang, sekelompok orang, maupun semua
orang—yang sama dengan suara Tuhan. Bukankah kita tahu, rakyat bisa keliru,
hati rakyat bisa penuh dendam, iri, benci.
Van Barts: Beta juga tidak setuju sesuatu dianggap benar karena disetujui banyak kalangan (Argumentum Ad Populum). Terlalu dangkal kalau Hukuman Mati ditetapkan oleh pemerintah karena disetujui oleh banyak kalangan. Beta percaya penetapan Hukuman Mati sudah melalui metode kajian hukum tertentu untuk memenuhi asas keadilan. Maka tuduhan penetapan Hukuman Mati karena disetujui luas (Vox Populi Vox Dei) bisa jadi adalah merupakakan tuduhan strawman a.k.a salah kaprah.
Van Barts: Beta juga tidak setuju sesuatu dianggap benar karena disetujui banyak kalangan (Argumentum Ad Populum). Terlalu dangkal kalau Hukuman Mati ditetapkan oleh pemerintah karena disetujui oleh banyak kalangan. Beta percaya penetapan Hukuman Mati sudah melalui metode kajian hukum tertentu untuk memenuhi asas keadilan. Maka tuduhan penetapan Hukuman Mati karena disetujui luas (Vox Populi Vox Dei) bisa jadi adalah merupakakan tuduhan strawman a.k.a salah kaprah.
Romo Magnis: Bahwa begitu lama hukuman mati tidak
dipersoalkan bukanlah bukti hukuman mati dapat dibenarkan, melainkan
kelonggaran sementara karena kekasaran hati manusia. Karena naluri mau balas
dendam, manusia butuh waktu untuk menyadari bahwa ia tidak boleh membunuh.
Namun, lama-kelamaan manusia jadi lebih mengerti, lebih bertanggung jawab, maka
ia mulai memahami bahwa hukuman mati melampaui wewenang moralnya.
Van Barts: Tahu dari mana bahwa semua hukuman mati
adalah bentuk naluri balas dendam? Apakah Allah tetapkan hukuman mati untuk
memenuhi naluri balas dendam manusia? Apakah anda bermaksud mengatakan Allah bisa
inkonsistensi terhadap diriNya sendiri dengan memperbolehkan hukuman mati tapi
kemudian tidak lagi memperbolehkannya? Kalau demikian, coba tunjukan pada saya
bagian Alkitab mana yang tidak memperbolehkan hukuman mati, jika itu maksud
anda? Dan beta juga tidak percaya bahwa keputusan pengadilan memberikan hukuman
mati karena untuk balas dendam. Kesimpulan anda terlalu berlebihan.
Romo Magnis: Pernah ada hukum "mata demi mata,
gigi demi gigi" (lex talionis, di Kitab Taurat). Namun, pada waktu itu,
3.000 tahun lalu, lex talionis merupakan langkah maju dalam proses
de-kasarisasi hati manusia. Waktu itu, kalau orang memukul orang lain sehingga
gigi atau mata hilang, ia akan dibunuh. Lex talionislantas membatasi:
Kalau matamu ditusuk, kau tak boleh membunuh, kau hanya boleh tusuk mata dia.
Namun, sekarang kita sudah maju. Kalau sekarang mata seseorang yang menusuk
ditusuk kembali, itu barbar.
Van Barts: Natur dari hukuman mati tidak untuk pembalasan, ini sama saja dengan natur dari
hukuman – hukuman lainnya juga, yaitu: orang menerima ganjaran atas
kesalahannya. Seorang mencuri, membunuh, memperkosa, dll di hukum (entah
penjara dan hukuman mati), adalah bentuk konsekuensi dan tanggung-jawab nya
terhadap kesalahan yang sudah dia lakukan. Ini tidak ada hubungan dengan hukum
“mata demi mata, gigi demi gigi”. Kalau anda anggap sama, maka jangan standar
ganda! Jangan setuju juga dengan hukuman penjara, toh bisa juga dianggap balas
dendam.
Romo Magnis: Jadi, ada kemajuan dalam perjalanan
umat manusia ke luar dari kekasaran. Dan sangat tepatlah sila kedua
Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hukuman mati belum beradab.
Van Barts: Maka menjadi tidak tepat memakai sila
kedua dari Pancasila untuk menjustifikasi hukuman mati adalah tidak
relevan/salah. Justru hukuman mati bisa merupakan perwujudan “kemanusiaan yang
adil dan beradab”.
Romo Magnis: Kalau dalam agama-agama dulu, hukuman
mati tidak ditolak, tetapi ditetapkan sebagai hukuman atas perbuatan jahat
tertentu, itu pun perlu dimengerti dalam rangka de-kasarisasi hati manusia.
Daripada pelanggaran apa pun dibalas dengan membunuh pelanggar, hukuman
mati—yang belum bisa dihapus sama sekali karena manusia masih terlalu
kasar—dibatasi pada perbuatan kriminal paling jahat saja. Akan tetapi, yang
sebenarnya dimaksud: pada akhirnya manusia jadi sadar bahwa hukuman mati tidak
pantas dan tidak dikehendaki Tuhan.
Bisa juga
dikatakan: Tuhan sabar dengan kekasaran hati kita, tetapi tidak untuk
selamanya.
Van Barts: Sudah beta jawab diatas. Implikasinya
Allah menjadi tidak konsisten dengan ketetapan-Nya kalau kita mau pakai argumen
anda. Kesabaran itu tidak berarti membenarkan hal yang salah. Kalau benar
hukuman mati itu adalah bentuk kekasaran manusia, maka Allah tidak perlu
menetapkannya.
Romo Magnis: Alasan keempat, menurut kebanyakan
ahli, hukuman mati tak punya efek jera. Ancaman hukuman mati tidak mengurangi
kelakuan kriminal.
Ada
beberapa pertimbangan tambahan. Di Indonesia ada orang yang baru dieksekusi
puluhan tahun sesudah hukuman mati dijatuhkan, terutama beberapa orang yang
dituduh "terlibat G30S/PKI". Eksekusi semacam itu kehilangan segala legitimasi.
Di lain pihak Indonesia sudah cukup lama menahan diri dalam menjatuhkan hukuman
mati. Hukuman mati sudah bukan hukuman rutin. Logika kenyataan positif itu
adalah: akhiri hukuman mati sama sekali!
Tuntutan
agar kita mencoret hukuman mati dari hukum pidana kita bukan karena ikut-ikutan
luar negeri, melainkan demi harga diri kita sebagai bangsa yang beradab.
Van Barts: Kebanyakan ahli mengatakan demikian tidak
serta merta membuat Hukuman Mati menjadi salah. Paling tinggi, hasil kesimpulan
“kebanyakan ahli” tersebut digunakan sebagai pertimbangan semata, tapi tidak
untuk membuat Hukuman Mati menjadi kesimpulan yang salah.
Apa lagi
bicara soal “efek jera”. Suatu hukuman diberikan bukan agar terhukum menjadi
jera, tapi lebih dari itu untuk memenuhi asas keadilan sebagai bentuk
tanggung-jawab si terhukum atas perbuatannya. Kalau pun ternyata ada terhukum
yang menjadi jera dan bertobat, syukurlah. Lagi pula kalau mau pakai argumen “efek
jera”, bukan hanya Hukuman Mati, hukuman yang lainnya pun menjadi salah juga
(tidak efektif), karena toh setelah keluar penjara masih ada juga mantan napi
yang tidak berhenti berbuat kejahatan. Argumen “efek jera” ini standar ganda.
Ahhh ayolahhh…
Di Alkitab bahkan Allah ijinkan Hukuman Mati. Anda mau bilang “keputusan Allah
dalam Alkitab adalah tidak beradab?”
Trims
Komentar
Posting Komentar