πππππππ πππππ πππ ππππππ πππππππ πππππ?
Jika itu konsisten diterapkan, maka pada abad ke-20 ayat ini bisa ditafsirkan sebagai “kebenaran akan membebaskan dari kolonialisme,” lalu di abad ke-21 menjadi “kebenaran akan memerdekakan dari algoritma media sosial.” Bahkan, di masa depan, orang bisa menafsirkan bahwa “kebenaran” berarti teknologi kecerdasan buatan yang membebaskan manusia dari kerja manual. Dengan demikian, teks Kitab Suci kehilangan makna tetapnya dan berubah menjadi slogan elastis yang menyesuaikan mode zaman.
Tetapi, bila Alkitab hanyalah slogan yang lentur sesuai tekanan konteks, maka tidak ada lagi pijakan objektif untuk membedakan mana tafsir yang sahih dan mana yang hanya produk subjektivitas zaman. Akibatnya, klaim bahwa “Alkitab ditempatkan di atas doktrin” justru runtuh, sebab pada praktiknya Alkitab ditundukkan kepada konteks sosial-historis yang berubah-ubah. Jadi, argumen itu menggali lubang bagi dirinya sendiri: demi menegakkan supremasi Alkitab atas dogma, ia malah menurunkan Alkitab ke level opini manusia yang fana.
Dengan kata lain, jika konsistensi logis dipertahankan, maka tafsir “kontekstual” semacam ini bukan mengangkat otoritas Alkitab, melainkan menghancurkannya dari dalam, menjadikannya teks cair tanpa daya normatif. Itu adalah hasil yang absurd bagi siapa pun yang mengaku ingin menempatkan Kitab Suci di atas doktrin.
KAJIAN BIBLIS YOHANES 8:3
Yohanes 8:32 berbunyi: “dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Dalam konteks pasal, Yesus sedang berdialog dengan orang Yahudi yang mengaku percaya kepada-Nya (Yoh 8:31). Perikop ini jelas terkait dengan syarat “jikalau kamu tetap dalam firman-Ku” (ay. 31). Dengan demikian, “kebenaran” yang dimaksud bukanlah konsep politis atau sosial belaka, melainkan kebenaran yang melekat pada Firman Kristus.
Eksegesis menunjukkan dua hal penting:
1. Kebenaran itu berakar pada Kristus sendiri.
Yohanes 14:6 menegaskan Yesus sebagai “jalan dan kebenaran dan hidup.” Jadi, “kebenaran” bukanlah keadaan zaman, melainkan pribadi Kristus dan firman-Nya. Menggeser makna “kebenaran” ke tafsir kontekstual sosial-historis berarti memutus ayat dari pusat Kristologisnya.
2. Kemerdekaan yang dimaksud adalah rohani, bukan politis.
Lanjutan Yoh 8:34–36 menegaskan, “Setiap orang yang berbuat dosa adalah hamba dosa… apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.” Jadi, kemerdekaan di sini adalah pelepasan dari kuasa dosa, bukan dari kuasa politik, institusi agama, atau struktur sosial.
Bila makna asli ini diabaikan demi “kontekstualisasi zaman,” konsekuensi logisnya absurd:
• Jika di zaman Yesus artinya pelepasan rohani, di zaman Reformasi artinya pelepasan dari Roma, lalu hari ini bisa diartikan pelepasan dari tekanan kapitalisme, atau pembebasan dari stres akibat tuntutan hidup modern, atau bahkan pembebasan dari pola makan tidak sehat. Maka, teks ini tidak lagi menunjuk pada realitas rohani tetap, melainkan berubah sesuai mood masyarakat.
• Jika demikian, firman Tuhan tidak memiliki makna normatif yang melintasi zaman, melainkan sekadar refleksi keadaan sejarah. Padahal Yohanes sendiri menulis dengan maksud universal: “supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20:31).
Secara logis, tafsir kontekstual semacam itu menghancurkan klaim Alkitab tentang kebenaran kekal. Alkitab ingin menyingkapkan realitas objektif: Kristus sebagai Kebenaran yang membebaskan dari dosa. Jika tafsir direduksi menjadi “konteks sosial-historis,” maka “kebenaran” tidak lebih dari opini budaya yang selalu berubah. Akibatnya, tafsir yang dimaksudkan untuk menegakkan otoritas Kitab Suci justru meniadakan otoritas itu—karena kebenaran diperlakukan sebagai elastis, bukan absolut.
Dengan demikian, eksegesis yang benar menegaskan bahwa Yohanes 8:32 tidak dapat diperas menjadi semboyan perubahan sosial sesuai konteks. Ayat ini menunjuk pada pembebasan rohani melalui Kristus, dan hanya dengan makna itu teks memiliki bobot normatif lintas zaman. Menariknya, bila prinsip ini diabaikan, maka orang yang berteriak bahwa “Alkitab harus di atas dogma” justru sedang menundukkan Alkitab ke bawah tafsir zamannya sendiri—sebuah kontradiksi logis yang meruntuhkan argumen mereka sendiri.
ALKITAB DITEMPATAN DIATAS DOKTRIN
Kalimat “Alkitab ditempatkan di atas dogma/doktrin/ajaran” sekilas terdengar mulia, seolah-olah Alkitab diposisikan sebagai otoritas tertinggi. Namun jika ditelaah lebih cermat, justru ada kerancuan logis di dalamnya. Mengapa? Karena doktrin sejatinya bukan entitas tandingan Alkitab, melainkan rumusan ajaran yang bersumber dari Alkitab itu sendiri. Menyatakan bahwa Alkitab “lebih tinggi” dari doktrin sama saja seperti berkata bahwa matahari lebih tinggi dari sinarnya—pernyataan itu benar tetapi tidak tepat sasaran, sebab sinar tidak pernah berdiri lepas dari matahari.
Bila orang menekankan kontras tersebut, maka secara implisit ia menuduh bahwa doktrin hanyalah ciptaan manusia yang bisa ditaruh sejajar atau bahkan berlawanan dengan Alkitab. Padahal, doktrin yang sehat justru lahir dari hasil eksegesis, refleksi teologis, dan kesetiaan kepada Kitab Suci. Dengan demikian, menolak doktrin demi mengangkat Alkitab adalah sebuah ironi: orang itu mengaku meninggikan Alkitab, tetapi pada praktiknya ia meremehkan cara Alkitab diartikulasikan dan diajarkan dalam sejarah iman gereja.
Lebih jauh lagi, jika doktrin dianggap sesuatu yang bisa “dikesampingkan” demi hanya berpegang pada Alkitab, maka sesungguhnya yang terjadi bukan penolakan terhadap doktrin, melainkan penciptaan doktrin baru yang bersifat pribadi atau subyektif. Dengan kata lain, pernyataan itu tidak menghapus doktrin, melainkan adalah bentuk doktrin juga, yaitu doktrin yang bersifat kontekstual yang disesuaikan dengan keinginan penafsir. Dan ironisnya, hal itu justru menempatkan tafsiran manusia di atas Alkitab, bukan sebaliknya.
Jadi, klaim bahwa “Alkitab lebih tinggi dari doktrin” bisa berbalik menjadi absurditas. Maksud awalnya adalah memuliakan Kitab Suci, tetapi hasil akhirnya justru meruntuhkan otoritas Kitab Suci karena ia dipaksa tunduk pada tafsir individual yang mengabaikan kerangka doktrinal yang lahir dari Alkitab itu sendiri.
#SapotongLalepakBaomong
Komentar
Posting Komentar