Musik Gereja Protestan Tidak Memiliki Akar yang Kuat?

Klaim bahwa musik gereja Protestan tidak memiliki akar yang kuat merupakan tuduhan yang menarik sekaligus tidak lazim. Sekilas tampak sederhana, namun sesungguhnya menyimpan kompleksitas historis dan teologis yang perlu dicermati dengan baik.

Pertama-tama, perlu digarisbawahi bahwa istilah Protestan sendiri mencakup spektrum denominasi yang amat luas. Dari Lutheran, Reformed, Anglikan, hingga Evangelikal kontemporer. Karena itu, pernyataan umum bahwa “musik gereja Protestan tidak berakar kuat” menjadi problematis apabila tidak disertai klarifikasi: Protestan yang mana, dalam konteks apa, dan menurut ukuran teologis musikal yang bagaimana?

Dugaan beta, klaim semacam ini berangkat dari pembacaan yang bersifat historis, bahkan mungkin dari perspektif yang masih terikat pada paradigma liturgi Gereja Barat pra-Reformasi. Maka, tanggapan yang proporsional harus ditempatkan dalam kerangka sejarah perkembangan musik gereja itu sendiri, yakni sejak era Reformasi abad ke-16 yang menjadi titik lahirnya ekspresi musikal Protestan.

Dengan demikian, ada baiknya kita menelaah tuduhan tersebut melalui dua kemungkinan: pertama, apabila yang dimaksud dengan “akar kuat” adalah warisan musikal Gereja Katolik yang menjadi sumber awal bagi Reformasi, maka hal itu dapat diterima dalam batas tertentu; kedua, apabila maksudnya bahwa musik Protestan hanya melanjutkan tradisi gereja lama tanpa pembaruan substansial, maka klaim tersebut jelas keliru.

Berangkat dari dua kemungkinan inilah, ulasan berikut hendak menelusuri dinamika historis dan teologis musik gereja Protestan dari Luther hingga Bach, sebagai bukti bahwa tradisi musikal Protestan bukan sekadar pewarisan, melainkan transformasi kreatif yang berakar pada iman dan teologi Reformasi itu sendiri.

1.      Jika yang dimaksud “akar kuat” adalah bahwa musik Protestan diwarisi dari Katolik

Dalam pengertian ini, kita bisa menerima klaim tersebut secara terbatas. Secara historis, memang benar bahwa Reformasi Protestan abad ke-16 lahir dari rahim Gereja Barat (Katolik Latin). Maka, liturgi, musik, dan struktur ibadah Protestan awal tidak muncul dari ruang kosong. Luther sendiri adalah biarawan Katolik Augustinian yang sangat menghargai musik Gregorian dan musik polifoni renaisans.

Namun, menerima warisan bukan berarti sekadar meniru. Justru di sinilah kekuatan musik Protestan: ia melakukan reformasi musikal yang paralel dengan reformasi teologis.

  • Reformasi Teologis: Prinsip sola Scriptura menegaskan bahwa segala praktik, termasuk musik gereja, harus tunduk pada kebenaran Kitab Suci. Musik tidak lagi dianggap “alat magis” yang mengantar doa umat kepada Tuhan seperti dalam konsepsi sakramental Katolik, melainkan medium pengajaran iman dan ekspresi jemaat yang berakar pada firman.
  • Reformasi Liturgis: Luther menolak eksklusivitas musik Latin dan menggantikannya dengan bahasa Jerman agar umat dapat ikut bernyanyi. Ini langkah revolusioner — musik menjadi milik umat, bukan milik klerus. Mazmur dan nyanyian jemaat (chorale) menjadi bentuk demokratisasi liturgi.
  • Reformasi Musikal: Dalam konteks musikal, Luther menggabungkan unsur musik rakyat (Volkslied) dan teknik polifoni Eropa menjadi satu bentuk khas chorale harmonization. Dari sinilah berkembang himne Protestan yang teologis, sederhana, tapi kuat secara musikal.

Jadi, kalau yang dimaksud “akar kuat” adalah asal-usul Katolik, maka benar musik Protestan berakar di sana. Namun akar itu tidak pasif; ia justru ditebang, ditanam ulang, dan tumbuh menjadi pohon yang baru dengan tanah teologi yang lebih dalam.

2.      Jika yang dimaksud “tidak memiliki akar kuat” adalah Protestan hanya meneruskan musik gereja tua

Pandangan ini keliru secara historis dan teologis. Musik Protestan tidak sekadar melanjutkan, tetapi menjadi salah satu motor utama pembaruan musikal Eropa.

Mari kita lihat lintas zamannya:

a.      Zaman Luther (awal Reformasi, abad 16)

·       Luther menulis banyak chorale (misalnya Ein feste Burg ist unser Gott), yang menjadi dasar bagi seluruh tradisi musik gereja Jerman.

·      Ia menekankan musik sebagai “theologia cantans” (teologi yang bernyanyi).

·     Musik gereja tidak lagi berfungsi sebagai ritual sakramental, tetapi sebagai pengajaran dan pengakuan iman.

b.      Zaman pasca-Luther: dari Johann Walter sampai Heinrich Schütz (abad 16–17)

·    Johann Walter, rekan Luther, menyusun himnal pertama dan menata empat suara (SATB) bagi nyanyian jemaat. Langkah besar dalam harmonisasi gerejawi.

·  Heinrich Schütz membawa musik gereja Protestan ke ranah ekspresi tinggi dengan pengaruhItalia (Monteverdi), menjembatani antara chorale dan oratorio.

c.       Puncaknya: J.S. Bach (1685–1750)

·  Bach mewarisi teologi Lutheran yang sangat kuat dan menerjemahkannya ke dalam komposisi musik.

·       Karya-karyanya (kantata, oratorio, Passion according to St. Matthew) adalah bentuk sintesis tertinggi antara teologi, musik, dan iman.

·    Dalam Bach, musik bukan hanya pujian tetapi juga eksposisi Alkitab. Struktur musiknya mencerminkan struktur teologis Injil.

 

Dengan demikian, musik Protestan berkembang dari akar teologi yang sadar diri, bukan sekadar reproduksi dari musik lama. Reformasi bahkan menciptakan paradigma baru: “Sola musica theologica” musik yang tunduk dan berbicara teologi.

 

 

Daftar Pustaka

Luther, Martin. Luther’s Works: Letters II, 1521–1530. Edited by Helmut T. Lehmann. Philadelphia: Fortress Press, 1962.

Luther, Martin. Preface to the Babst Hymnal (1545). In Luther’s Works, Volume 53: Liturgy and Hymns, edited by Ulrich S. Leupold, 316–320. Philadelphia: Fortress Press, 1965.

Bach, Johann Sebastian. The Passions: According to St. Matthew and St. John. Leipzig: Breitkopf & Härtel, 1731/1749.

Schütz, Heinrich. Geistliche Chormusik (1648). Dresden: Heinrich Schütz Haus Edition, 1955.

Leaver, Robin A. Luther’s Liturgical Music: Principles and Implications. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing, 2007.

Leaver, Robin A. The Whole Church Sings: Congregational Singing in Luther’s Wittenberg. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2017.

Pelikan, Jaroslav. Reformation of Church and Dogma (1300–1700). Vol. 4 of The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine. Chicago: University of Chicago Press, 1984.

Stauffer, George B. Bach: The Mass in B Minor—The Great Catholic Mass. New Haven: Yale University Press, 2003.

Butt, John. Bach’s Dialogue with Modernity: Perspectives on the Passions. Cambridge: Cambridge University Press, 2010.

Westermeyer, Paul. Te Deum: The Church and Music. Minneapolis: Fortress Press, 1998.

Begbie, Jeremy. Theology, Music and Time. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.

Routley, Erik. Hymns and Human Life. London: John Murray, 1952.

Wilson-Dickson, Andrew. The Story of Christian Music: From Gregorian Chant to Black Gospel. Oxford: Lion Publishing, 1992.

Eskew, Harry, and Hugh T. McElrath. Sing with Understanding: An Introduction to Christian Hymnology. Nashville: Church Street Press, 1995.

Lathrop, Gordon W. Holy People: A Liturgical Ecclesiology. Minneapolis: Fortress Press, 1999.

Hawn, C. Michael. Gather into One: Praying and Singing Globally. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2003.

Wren, Brian. Praying Twice: The Music and Words of Congregational Song. Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2000.

Parrott, David. “Music in the Reformation.” Oxford Bibliographies in Music. Oxford University Press, 2019.

Temperley, Nicholas. “Protestant Church Music.” Grove Music Online. Oxford University Press, 2020.

Britannica, “Chorale.” Encyclopaedia Britannica, 2024. https://www.britannica.com/art/chorale.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Debat "IVAN BARTELS vs SUSTER IDA FREDERIK KUIL" (Tentang Dogma Immaculata Conceptio)

JANGAN KUATIR DAN KEUTAMAAN KEBENARAN ALLAH (Kritik terhadap tema khotbah dan khotbah tertentu dari bacaan: Matius 6:25-34)

APAKAH DENGAN MENGATAKAN KEBENARAN KEPADAMU, AKU TELAH MENJADI MUSUHMU? (Menanggapi tulisan Pdt. Norman M. Nenohai)