MENGAPA PERLU BELAJAR LOGIKA (Bagian I dan Bagian II)
Mengapa Perlu Belajar Logika - Bagian I
Terjemahan: Ma Kuru Paijo Budiwidayanto
Kalau anda
berencana membaca buku ini atau mengambil bagian dalam pelatihan logika, maka
anda perlu alasan untuk melakukannya. Mengapa belajar logika? Apa yang logika
bisa tetapi tidak bisa diberikan kimia atau sejarah misalnya? Dapatkah logika
mengajarkan kita sesuatu, ataukah hidup lebih dalam dari pada logika? Kalau
anda bermaksud belajar logika hanya karena studi anda mengharuskan anda
melakukannya, maka pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa kurikulum studi
memasukkan logika? Mengapa ada orang yang berpikir bahwa logika cukup penting
untuk dijadikan studi wajib?
Ini adalah
pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab, tetapi jawabannya mungkin tidak
seperti yang anda harapkan. Karena banyak orang menghina logika, maka perlu
penting untuk memahami hubungan antara logika dan moralitas misalnya. Banyak
orang yang yang berpandangan bahwa tidak perlu belajar logika. “Hidup lebih
dalam dari logika” katan mereka. “Hidup itu hijau, sedangkan logika itu abu-abu
dan tidak bergairah.” Para pujangga mengatakan “kita harus membunuh membedah.”
Banyak orang percaya bahwa adalah lebih baik untuk menggunakan waktu untuk
berdoa, protes, atau berkhotbah. Atau kalau mereka memiliki kecenderungan
naturalistik, mereka mungkin mengusulkan untuk bermeditasi dengan
berkonsentrasi pada pusar, atau matahari terbenam, atau melakukan eksperimen di
laboratorium. Jadi mengapa harus belajar logika? Mungkin kalau kita memahami
apa itu logika, kita dapat menjawab pertanyaan ini dengan lebih baik.
Apa itu
logika?
Di sekolah
dasar anda belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ketiga bidang itu dengan
tepat dianggap sebagai dasar bagi pendidikan selanjutnya: orang tidak bisa
belajar sejarah, botani, atau computer kalau tidak mampu membaca. Membaca,
menulis, dan berhitung adalah dasar dan alat yang memampukan orang belajar
lebih lanjut atau untuk mengemudi, belanja, atau mendapatkan pekerjaan.
Tetapi
adakah sesuatu yang lebih mendasari dari ketiga hal itu? Sesuatu yang begitu
jelas tetapi orang tidak menyadarinya apa lagi mempelajarinya? Apa yang sama
dari membaca, menulis, dan berhitung? Jawabannya adalah pikiran. Orang harus
berpikir agar bisa membaca dan menulis. Berpikir, sama seperti hal lainnya,
harus tunduk pada peraturan tertentu kalau kita ingin melakukannya dengan
benar. Kadang-kadang kita melakukan kesalahan dalam berpikir. Kita melakukan
lompatan kesimpulan; kita memegang asumsi yang tidak ada dasar; kita
menggeneralisir. Ada bidang yang mengkatalogkan kesalahan-kesalahan ini, dan
menunjukkannya sehingga kita dapat mengetahuinya di masa depan dan kemudian
menjelaskan aturan-aturan untuk menghindarinya. Bidang ini disebut logika.
Tempat bagi
Logika
Logika
bukanlah psikologi. Logika tidak memberi deskripsi tentang apa yang orang
pikirkan atau bagaimana mereka biasanya sampai pada kesimpulan; tetapi logika
memberi gambaran bagaimana orang seharusnya berpikir jika mereka ingin berpikir
secara tepat. Logika lebih seperti aritmetika daripada sejarah, karena logika
menjelaskan peraturan-peraturan yang harus orang ikuti untuk sampai pada
kesimpulan yang tepat, sama seperti aritmetika menjelaskan aturan-aturan yang
harus diikuti untuk sampai pada jawaban yang benar.
Logika
terkait dengan semua pemikiran; sangat mendasar untuk semua disiplin, mulai
dari pertanian sampai austronotika. Tidak ada banyak logika: satu untuk
filsafat, satu untuk agama, dll tetapi hanya ada satu aturan pemikiran yang
diberlakukan dalam dunia politik misalnya atau kimia misalnya. Beberapa orang
mencoba menyangkal bahwa logika diterapkan dalam semua bidang, karena mereka
ingin menjadikan beberapa bidang sebagai tempat perlindungan bagi argument yang
tidak logis misalnya teologi dan ekonomi. Hasilnya disebut polylogisme – banyak
logika – yang sebenarnya adalah penyangkalan terhadap logika.
Tetapi
dengan berpandangan dan mengatakan bahwa ada banyak jenis logika, orang harus
menggunakan aturan logika [yaitu logika yang tidak banyak]. Mengatakan bahwa
ada banyak logika sama saja dengan mengatakan bahwa ada lebih dari satu
aritmetika – yang satu mengatakan bahwa 2 tambah 2 sama dengan 4 dan yang lain
mengatakan bahwa 2 tambah 2 sama dengan 5 (Penulis: jangan dipusingkan dengan
berbagai bilangan dasar dalam aritmetika. Saya berbicara tentang gagasan, bukan
kata). Orang yang meremehkan atau mengecilkan arti logika harus menggunakan
logika bahkan kalaupun dia sedang merendahkan dan mengecilkan arti logika.
Mungkin ini secara khusus dapat dipahami kalau kita membahas tentang
hukum-hukum logika.
Hukum-Hukum
Logika
Hukum logika
pertama disebut Hukum Kontradiksi, tetapi akhir-akhir ini orang mulai
menyebutnya Hukum Non Kontradiksi, tetapi keduanya merujuk kepada hal yang
sama. Aristotle mengungkapkan hukum ini dengan kata-kata: “Satu atribut/sifat
tidak dapat melekat dan tidak melekat pada subyek yang sama dengan hubungan
yang sama.” Secara simbolis hukum ini dinyatakan secara simbolis: “Tidak bisa
sama-sama A dan Non-A.” Satu daun maple bisa hijau dan kuning, tetapi tidak
bisa hijau dan kuning pada saat yang sama dan dengan hubungan yang sama – daun
itu bisa hijau pada musim panas dan kuning pada musim rontok. Kalau daun itu
hijau dan kuning pada saat yang sama, yaitu daun itu tidak bisa hijau dan
kuning dalam hubungan yang sama. Satu bagian, sekecil apapun, bisa hijau dan
bagian lain kuning. Ke-hijau-an dan bukan ke-hijau-an tidak dapat pada saat yang
sama dan dengan pengertian yang sama jadi sifat satu daun maple.
Mengambil
contoh lain: satu garis bisa melengkung dan lurus sekaligus, tetapi dengan
hubungan berbeda. Satu bagian bisa melengkung dan yang lainnya lurus, tetapi
satu bagian tidak bisa melengkung dan lurus sekaligus.
Hukum
kontradiksi memiliki arti lebih dari pada itu. Hukum ini berarti bahwa setiap
kata dalam kalimat “Garis itu lurus” memiliki arti spesifik. Kata itu tidak
berarti semua, ataubukan. Kata garis tidak berarti putih, atau kata lain.
Setiap kata memiliki arti khusus. Agar memiliki arti khusus, satu kata bukan
hanya harus berarti sesuatu tetapi juga harus tidak berarti yang lain. Kata
garis berarti garis, tetapi tidak beraerti bukan garis – sepertianjing,
matahari terbit, atau Yerusalem, misalnya.
Jika kata
garis bisa berarti apa saja, maka kata itu tidak berarti apa-apa. Tidak ada
seorangpun yang mempunya gambaran sedikitpun kalau mendengar kata garis. Hukum
kontradiksi berarti bahwa agar setiap kata memiliki arti maka kata itu tidak
berarti yang lain.
Mengapa perlu Belajar Logika - Bagian II
Logika dan
Moralitas
Apa hubungan
antara hukum logika ini dengan moralitas? Singkat saja: Pada saat Alkitab
mengatakan: “Jangan mengingini,” maka kata [yang digunakan] memiliki arti yang
spesifik. Menyerang logika sama saja dengan menyerang moralitas. Jika logika
dihina, maka pembedaan antara benar dan salah, baik dan jahat, adil dan tidak
adil, kasar dan lemah lembut, akan hilang. Tanpa logika, maka Firman Tuhan,
“Jangan membunuh,” bisa berarti: “Bunuhlah orang setiap hari!” atau “Stalin
adalah Prince of Wales,” atau semua yang lain. Ini berarti bahwa tanpa
logika, kata apapun tidak bermakna. Penolakan akan logika sama dengan akhir
dari moralitas, karena moralitas dan etika tergantung pada pengertian. Orang
harus memahami Kesepuluh Hukum untuk menaatinya. Jika logika tidak relevan atau
bukan sesuatu yang religius, maka perilaku bermoral tidak mungkin dan agama
“praktis” dari mereka yang merendahkan logika tidak dapat dipraktekkan sama
sekali.
Ada akibat
yang lebih buruk, (kalau ada kategori lebih buruk), kalau menolak logika. Jika
logika tidak mencakup seluruh bidang kehidupan, maka orang tidak dapat
membedakan antara benar dan salah. Jika seorang menolak logika, maka ketika
Alkitab mengatakan bahwa Yesus menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus,
disalibkan, mati dan bangkit kembali pada hari ketiga; itu bisa berarti Yesus
tidak menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, tidak disalibkan, tidak mati
dan tidak bangkit kembali pada hari ketiga. Itu juga bisa berarti bahwa Attila
the Hun suka coklat dan bermain golf. Pembedaan antara benar dan salah, baik
dan buruk akan lenyap karena tidak akan ada pembedaan di luar hukum
kontradiksi. Makna akan lenyap dengan sendirinya [kalau logika tidak
digunakan].
Penolakan
atas logika menjadi sangat populer dalam abad ke-20. Tampaknya penolakan ini
akan berlanjut sampai ke abad ke-21. Terkait moralitas, seringkali kita
mendengar, “Tidak ada hitam atau putih, yang ada hanya abu-abu.” Ini berarti
bahwa tidak ada yang baik dan buruk; semua tindakan dan alternatifnya adalah
campuran baik dan buruk. Jika seseorang meninggalkan logika seperti yang telah
dilakukan beberapa orang, maka dia tidak bisa membedakan antara baik dan jahat
– segala sesuatu diperbolehkan. Hasil dari penolakan terhadap logika–
pembunuhan massal, perang, kelaparan yang ditimbulkan pemerintah, aborsi,
pelecehan terhadap anak, perusakan terhadap keluarga, dan segala macam
kejahatan – sangat jelas di sekitar kita. Penolakan terhadap logika
telahmengakibatkan ditinggalkannya moralitas dan akan terus meninggalkan
moralitas.
Terkait
dengan pengetahuan, kita diberitahu bahwa kebenaran itu relatif; bahwa apa yang
benar menurut anda mungkin tidak benar untuk saya. Jadi 2 tambah 2 sama dengan
4 untuk anda, sedangkan untuk saya sama dengan 6,7. Jika logika
ditinggalkan, maka itu akan terjadi. Kekristenan benar untuk beberapa orang dan
Budhisme benar untuk yang lain. Salah satu hasilnya adalah berkembangnya antipati
terhadap Kekristenan karena mengajarkan bahwa semua manusia sudah berdosa dan
hanya ada satu jalan kepada Allah yaitu lewat Yesus Kristus. Kebenaran Absolut-
yang sebenarnya merupakan frase mubazir telah digantikan oleh kebenaran relatif
yang sebenarnya merupakan sebuah frase kontradiksi seperti halnya lingkaran
persegi empat. Jadi kalau logika hilang, maka kebenaranpun lenyap.
Logika bukan
sebuah pilihan. Logika sangat mendasar. Begitu mendasarnya sehingga mereka yang
menyerangnyapun harus menggantungkan diri pada logika untuk menyerang logika.
Pada saat mengatakan/menulis “Logika tidak valid” mereka menanggap bahwa
kalimat itu memiliki makna yang spesifik. Penantang logika harus menggunakan
hukum kontradiksi untuk membantah logika. Mereka mengasumsikan kesyahihan hukum
kontradiksi untuk mengatakan bahwa hukum ini tidak syahih. Mereka harus
mengasumsikan bahwa hukum ini benar agar mereka dapat mengatakan bahwa dia
salah. Mereka harus mengemukakan argumen untuk meyakinkan kita bahwa argumen
tidak valid. Kemanapun mereka melarikan diri, mereka terkurung. Mereka tidak
dapat menyerang obyek yang mereka benci tanpa menggunakannya sebagai senjata
untuk menyerang. Mereka seperti tentara Romawi yang menangkap Yesus, yang tidak
sadar bahwa posisi dan tindakan mereka tergantung pada aturan yang mereka
tolak. Mereka harus menggunakan aturan logika untuk merendahkan logika; sama
seperti tentara itu harus Yesus sembuhkan sebelum dia bisa menangkap Yesus.
Alkitab dan
Logika
Dalam pasal pertama Injil Yohanes, dia
menulis “Pada mulanya adalah Logos; Logos itu bersama-sama dengan Allah dan
Logos itu adalah Allah. Kata bahasa Yunani Logosbiasanya diterjemahkan sebagai
Firman, tetapi sebenarnya lebih baik diterjemahkan sebagai Logika atau Hikmat.
Kata bahasa Inggris Logic (Ma Kuru: yang diterjemahkan Logika) berasal dari
kata bahasa Yunani logos. Yohanes menyebut Yesus Kristus sebagai Logika Allah.
Pada ayat sembilan dia menyebut Yesus sebagai “Terang yang sesungguhnya” yang
menerangi setiap orang dan sedang datang ke dunia. Dengan kata lain, tidak ada
yang namanya “logika manusia” dan “logika Allah” seperti yang beberapa orang
ingin kita percayai. Logika Allah menerangi setiap orang: logika manusia adalah
gambar Allah. Allah dan manusia berpikir dengan cara yang sama – tetapi dengan
isi/kandungan pikiran yang berbeda, karena manusia berdosa dan Allah suci.
Tetapi baik Allah dan manusia berpikir bahwa 2 tambah 2 sama dengan 4 dan bahwa
A tidak mungkin non-A. Baik Allah maupun orang Kristen berpikir bahwa hanya
dengan korban penggantian Yesus Kristus yang memungkinkan orang berdosa masuk
Surga. Hukum-hukum logika adalah cara Allah berpikir. Dia tidak berbuat
kesalahan, tidak pernah berargumen yang tidak valid. Tetapi kita manusia
melakukan itu dan ini adalah salah satu alasan mengapa kita diperintahkan oleh
Rasul Paulus untuk menundukkan segala pikiran kepada Kristus. Kita perlu
berpikir seperti Kristus berpikir – yaitu secara logis.
Mengapa
belajar logika?
Kita kembali
ke pertanyaan awal, Mengapa kita [perlu] belajar logika? Jawaban pertama kita
adalah bahwa kita diperintahkan oleh Alkitab. Tanpa belajar bagaimana berpikir
dengan tepat, kita akan menyalahartikan Alkitab. Petrus memperingatkan kita
akan orang-orang yang memutarbalikkan Kitab Suci dan mengutuk diri sendiri
karena itu. Belajar logika akan membantu kita menghindarkan diri dari
memutarbalikkan Kitab Suci dimana kita mengatakan sesuatu yang bukan merupakan
kesimpulan dari Alkitab. Pengakuan Iman Westmister yang ditulis di Inggris
tahun 1640-an mengatakan bahwa segala sesuatu yang perlu untuk iman dan
kehidupan dinyatakan secara eksplisit dalam Alkitab atau yang dideduksi melalui
kesimpulan yang baik dan diharuskan (good and necessary consequence). Hanya
dengan belajar logika kita bisa membedakan kesimpulan yang baik dan diharuskan
dan deduksi yang tidak valid.
Logika tidak
bisa dipisahkan bukan hanya saat membaca Alkitab, tetapi juga saat membaca
sejarah, botani atau computer program. Logika diterapkan pada semua pemikiran,
dan argumen yang bermasalah bisa ditemukan dalam setiap bidang kehidupan.
Mempelajari logika membantu kita memahami bidang lain dengan lebih baik, bukan
hanya teologi. Karena itu Allah berfirman lewat nabi Yesaya, “Marilah, baiklah
kita berperkara!” (Catatan penterjemah: dalam berperkara ada adu argumentasi.)
John W.
Robbins, dalam Logic, tulisan Gordon H. Clark.
Komentar
Posting Komentar